Bandara Jendral Ahmad Yani tampak lenggang pagi itu. Belum terlalu banyak aktifitas terjadi di sana. Maklum, bandara itu masih belum lama beroperasi. Bahkan aroma cat dan debu masih kentara dan terasa.
Seorang pria tampan tampak berjalan tergesah-gesah sambil menarik kopernya. Sesekali ia mengedarkan pandangannya. Mencari-cari seseorang yang mungkin di tugaskan untuk menjemputnya pagi ini. Mana mungkin ia naik taksi atau kendaraan umum di jam tiga subuh seperti sekarang.
Ia semakin mempercepat langkahnya, saat menemukan seorang pria paruh baya tengah berdiri menantinya, tampak mencolok dengan karton putih bertuliskan namanya.
"Kok, Bupati Sepuh Suwardono yang jemput? Memangnya nggak ada Bekel Anom yang bisa menjemput saya?" Tanya pria itu sedikit bingung. Lawan bicaranya hanya tersenyum sambil membungkuk.
"Susuhan ingin memastikan Raden Mas sampai dengan selamat, makanya beliau mengutus saya." Jawab pria yang tadi di sapa Bupati Sepuh.
"Bilang sama kakek, saya nggak akan kabur. Apa Ayah saya juga sudah sampai?" Tanyanya lagi.
"Sampun, kemarin siang Kanjeng Gusti Pangeran Harya Dwiandaru sudah tiba bersama Gusti Raden Ayu Nastiti."
"Sudah, Pak Dono. Nggak usak terlalu formal. Saya pusing dengar gelar-gelar kerajaan itu. Sudah, cukup panggil saya Kenan." Kenan berjalan mendahului. Pak Dono mengejarnya, mengambil alih koper yang di tarik Kenan.
"Biar saya saja, Raden." Ujarnya.
Kenan enggan berdebat panjang lebar. Sejak ia kecil hingga dewasa, Pak Dono memang seperti itu. Selalu memegang teguh adat istiadat Keraton. Bahkan sering kali Kenan merasa terbebani oleh gelar itu.
Jalanan kota Solo terlihat tidak terlalu banyak berubah. Sesekali Kenan melihat beberapa orang mengendarai sepeda tuanya dengan bakul rotan di bagian boncengan belakangnya. Sepertinya mereka pedagang yang akan berangkat berjualan di pasar.
"Sebenarnya ada masalah apa di Keraton, sampai-sampai Susuhan menyuruh saya pulang ke Solo?" Tanya Kenan, kembali membuka percakapan.
Pak Dono yang sedang menyetir hanya menoleh sekilas, dan kembali fokus ke jalanan.
"Maaf, Raden. Saya juga kurang tahu."
Kenan kembali menghela napas. Membuang pandangannya keluar jendela. Mau di tanya seperti apapun Pak Dono sudah pasti tidak akan mau buka mulut. Walaupun, sebenarnya pria itu tahu. Dia termasuk orang kepercayaan Kakek Kenan.
Akhirnya mobil tua itu berhenti di pelataran keraton wetan, istana tempat tinggal keluarga Kenan selama di sana.
Dengan hati-hati Pak Dono menepuk pelan pundak Kenan. Kenan melenguh, mengerjapkan matanya yang masih terasa kantuk. Meski sering kali berpergian dengan pesawat, Kenan tetap sering jetlag.
"Nyuwun sewu, kita sudah sampai."
Pak Dono membukakan pintu mobil untuk Kenan. Pria itu segera menurunkan koper Kenan dan membawanya masuk ke dalam.
Sekarang sudah pukul empat subuh. Kenan sama sekali belum melihat ayah dan ibunya. Mungkin mereka belum bangun.
"Mau langsung istirahat di kamar, Raden?" Tanya Nyai Ngatemi, emban yang bertugas melayani di istana wetan.
"Romo sama Ibu di mana, Nyai ?"
"Kanjeng Gusti Pangeran Harya dan Gusti Raden Ayu, masih tidur. Den Mas, mau di buatkan teh hangat ?" Tawar Nyai Ngatemi.
Kenan menggeleng. "Nggak usah, saya mau tidur sebentar. Nanti kalau Romo dan Ibu sudah bangun. Beri tahu saja kalau saya sudah tiba."
Nyai Ngatemi mengangguk paham. Ia mengantar Kenan sampai ke depan kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FIL ROUGE
Roman d'amourAnindya Ningrum, gadis berjiwa bebas dan penuh mimpi, sama sekali tidak menduga bahwa kehidupannya telah di atur sedemikian rupa. Dengan siapa dia akan menikah ? bagaimana ia harus bersikap ? Anin tidak pernah tahu, bahwa sejak kecil sang kakek tela...