Rahasia Sofia (2)

825 118 20
                                    

Sofia terbangun saat ponselnya berdering nyaring. Bukan alarm, ada panggilan masuk. Dengan mata yang masih sedikit berat karena kantuk, Sofia meraih ponsel yang ia letakkan di sebelah bantalnya.

"Hmm.. Opo, Ning?" tanya Sofia dengan suara sedikit serak. Matanya masih merem karena kantuk.

"Sof, tolong jemput aku dong di bandara."

"Kapan?"

"Sekaranglah. Aku wes nyampe iki." Sahut Anin.

"Heh? Wedhus kowe, Ning. Kenapa nggak bilang dari kemarin sih. Aku baru bangun tidur belum mandi, nih." Sofia langsung bangun dan lari kekamar mandi.

"Hehehe. Sorry, Sof. Mas Andre nggak bisa jemput. Adikku juga belum ada kabar sampai sekarang. Cuma kamu harapanku. Mosok kamu tega aku naik taksi subuh-subuh gini. Nanti kalau aku kenapa-kenapa di jalan gimana? Rumahmu kan yang paling dekat dari bandara."

"Yawes, tunggu sampai aku datang." Sofia langsung memutuskan sambungan telponnya.

Gadis berambut coklat panjang itu hanya cuci muka dan gosok gigi. Ia langsung lari menuju garasi mobil.

Beruntung Sofia tinggal di Solo yang jauh dari kata macet. Bahkan di pagi buta seperti ini hanya ada beberapa kendaraan yang melintas.

Jarak dari rumah Sofia ke bandara hanya memakan waktu dua puluh menit. Kini gadis itu sudah berdiri di lobi menunggu Anin. Dari kejauhan terlihat gadis bermata bulat yang sudah tiga bulan tidak dijumpainya itu tengah menarik kopernya sambil tersenyum sumringah, melambaikan tangan kearah Sofia.

"Ya Allah, Sof. Aku kangen !" Anin memeluk Sofia erat, "bau asem ih."

"Hmm, bocah edan." Sofia menjitak kepala Anin, "siapa suruh kamu nelpon aku mendadak. Ya aku nggak mandilah. Eh, taunya pesawatmu malah baru mendarat."

Anin menyengir. Sudah maklum dengan rentetan ocehan Sofia yang terkadang ketus dan ceplas-ceplos. Justru sifat sahabatnya inilah yang Anin sukai. Sofia selalu berkata jujur meskipun kadang terdengar pahit.

Sofia memasukkan koper Anin di bagasi mobil sedannya. Ia mengantar gadis itu pulang kerumah.

"Pulangku hari ini rasanya bikin nggak tenang, Sof." Anin membuka obrolan mereka diperjalanan pulang. Sofia hanya diam, menatap Anin dengan alis terangkat.

"Rasanya masih nggak percaya. Aku cuma punya waktu seminggu buat merasakan kebebasanku sebagai perempuan single. Minggu depan aku bakal nikah. Aku nggak bisa ngebayangin kehidupanku selanjutnya bakal kayak apa?"

Sofia menghela napas. "Ya jangan kamu bayangin, Ning. Tapi, jalanin. Semua sudah ada rules-nya. Gadis manapun pasti bakal iri sama kamu. Kok ada cewek jelek nyebelin kayak gini bisa dapetin suami ganteng, tajir, pangeran beneran pula." Canda Sofia, ia tertawa saat melihat ekspresi kekesalan diwajah sahabatnya itu.

"Dasar jerapah." Cibir Anin

"Dari pada kamu, wedhus."

Anin dan Sofia saling melemparkan tatapan permusuhan. Sedetik kemudian tawa mereka lepas. Kebiasaan Anin dan Sofia untuk menenangkan hati yang sedang kacau memang terlihat aneh. Tapi, sangat ampuh.

Tepat pukul lima subuh, mereka sampai dirumah Anin. Sofia membantu membawakan koper sahabatnya. Ia menghela napas berat saat akan menaiki tangga teras rumah Anin. Menyiapkan mentalnya untuk kembali bertemu Nimas, ibu Anin.

"Assalamualaikum.." Anin mengetuk pintu yang masih tertutup rapat, sambil menunggu penghuni rumahnya membukakan pintu.

Tak berapa lama pintu terbuka. Muncul Andine dengan wajah yang masih terlihat mengantuk.

FIL ROUGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang