Penjajakan

969 134 14
                                    

Senyum Anin mengembang saat melihat tingkah lucu Kenzi dan Javi yang asyik berlarian di taman belakang rumah keluarga Kenan. Sesekali si kecil Javi melemparkan kerikil kearah sang kakak. Hingga tak pelak memancing teriakan panik dari sang bunda.

"Javi! Jangan, Nak." Seru Dian sedikit panik. Ia langsung berlari menyongsong putra bungsunya dan menggendong Javi.

Dian memangku Javi, menghapus ingus yang meluncur dari hidung mungilnya. Javi sedang pilek. Sayangnya ia terlalu aktif untuk di suruh berhenti bermain. Terpaksa Dian menuruti kemauan si bungsu yang ingin bermain di taman.

Anin memperhatikan interaksi ibu dan anak itu sambil tersenyum.

"Kenapa senyum-senyum?" Goda Dian. "Lagi ngebayangin punya anak sama Kenan ya?"

Anin gelagapan dan salah tingkah mendengar tuduhan itu.

"Eh.. nggak.. nggak kok." Bantah Anin.

Dian tertawa geli. "Beneran juga nggak apa-apa. Sabar aja, dua bulan lagi sah kok." Candanya.

Anin mengangguk, sedikit gusar. Dalam hati ia masih bimbang. Sholatnya belum menghasilkan jawaban apapun. Apakah Kenan yang terbaik untuknya? Apakah menikah dengan Kenan adalah pilihan yang tepat?

"Main sama Mas lagi sana. Nggak boleh lempar-lempar batu ya. Nanti kena orang." Pesan Dian saat Javi merengek ingin bermain lagi bersama sang kakak.

Bocah kecil itu mengangguk, turun dari pangkuan sang mama dan kembali berlarian bersama Kenzi.

"Ada yang mau elo tanyain nggak?" Tanya Dian, menatap Anin penuh arti.

Anin mengerutkan kening. "Tanya? Tanya apa, Mbak?"

Dian mengangkat bahunya. "I don't know. Maybe, tentang Kenan. Kalian kan belum terlalu saling mengenal satu sama lain. Mungkin ada yang mau lo tanyain ke gue tentang calon suami lo yang mirip zombie itu." Ujar Dian setengah bercanda.

Anin terkekeh mendengar julukan Kenan, zombie. Ya, sejujurnya ada banyak hal yang ingin ia ketahui tentang laki-laki yang akan menikahinya dua bulan lagi. Ia terlalu buta informasi tentang siapa Kenan.

"Nggak usah malu-malu, Ning. Sama gue ini." Lanjut Dian.

Sebenarnya Anin bukan malu-malu. Ia hanya bingung harus memulai dari mana?

Ia meremas ujung kemejanya, sambil berpikir pertanyaan apa yang hendak ia tanyakan?

"Hmm.. Mas Kenan orangnya seperti apa sih, Mbak?Apa emang dia pendiam gitu ya? Nggak banyak omong?" Tanya Anin.

"Kenan?Hmm..." Dian tampak berpikir sejenak, mengetuk-ngetukkan telunjuk di dagunya yang lancip.

"Oke, gue nggak akan nutup-nutupin apapun dari elo, Ning. Elo itu calon istrinya. Jadi elo harus tahu seperti apa Kenan."

Anin makin penasaran mendengar penuturan Dian.

"Kenan itu sebenarnya cowok yang baik banget, walau jarang senyum. Kalau sama orang yang udah dikenal dia amat sangat bawel kok. Kenan tuh kalau udah cinta sama cewek, hm.. jangan harap cewek itu bisa kabur. Karena sebosan apapun cewek itu, Kenan nggak akan mudah ngelepasin kalau udah nyaman. Ya.. kecuali kalau ceweknya kabur tanpa pamit dan nutup semua akses komunikasi ya." Lanjutnya.

Anin kembali mengerutkan alisnya. Ia agak bingung dengan maksud pernyataan Dian yang terakhir.

"Maksudnya, Mbak?" Tanya Anin.

"Oh.. lupain aja. Ya pokoknya intinya itu. Kenan kalau udah sayang nggak tanggung-tanggung. Gue yakin, seiring berjalannya waktu dia akan cinta sama sama elo."

FIL ROUGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang