Sorry, Key!

897 133 37
                                    

Waktu berjalan begitu cepat. Apalagi Anin belakangan sibuk dengan tugas akhir. Mempersiapkan ujian sebelum bimbingan skripsinya. Belum lagi Anin harus bolak-balik Jakarta-Bandung. Dan hubungannya dengan Kenan masih terasa hambar, bahkan menjelang pernikahan mereka. Tak ada yang banyak berubah paska pertengkaran terakhir mereka ketika membahas tentang masa lalu Kenan.

Kali ini perjalanan pulang Anin ditemani Rama. Untuk beberapa minggu kedepan Anin dan Kenan dilarang bertemu, mengikuti adat jawa yang mereka anut. Orang bilang dipingit.

"Ning, gue boleh tanya sesuatu nggak sama elo?" Suara bariton Rama berhasil menginterupsi rasa kantuk Anin.

"Engh.. nanya apa, mas Ram?" Anin mengucek matanya yang terasa berat. Kota Bandung masih sekitar sejam lagi baru sampai.

"Apa yang buat elo terdorong untuk menerima lamaran dari keraton? Apakah karena latar belakang Kenan?" Tanya Rama. Tampangnya sangat serius.

Anin terdiam. Ia sudah cukup sering mendengar pertanyaan seperti ini selama sebulan lebih menyandang status sebagai calon pengantin Keraton Surakarta Hadiningrat.

"Sorry, Ning. Gue nggak ada maksud buat nyinggung perasaan lo. Kalau elo nggak mau jawab juga nggak apa-apa kok." Ralat Rama, sadar ada perubahan di raut wajah Anin.

"Karena janji." Jawab Anin datar.

Rama menoleh. "Janji?" gumam pria berambut cepak itu.

"Mas Rama boleh percaya boleh nggak." Desah Anin.

"Dulu saya pernah punya janji sama almarhum Eyang saya. Kalau saya akan menikah dengan pria pilihan beliau. Sejak kecil saya sangat dekat dengan almarhum eyang. Rasanya seperti drama. Waktu eyang sakit, beliau pernah meminta saya berjanji untuk menikah dengan pria pilihan beliau. Saya yang saat itu sedang kalut menyetujuinya tanpa berpikir lagi. Bagi saya kesehatan eyang sangat penting saat itu."

"Iya, gue ngerti."

"Saya pikir masa-masa ini masih akan lama. Nunggu saya lulus kuliah baru nikah. Eh.. ternyata.. Waktu keluarga besar mas Kenan berkunjung, seluruh tanggal justru langsung diatur." Jelas Anin.

Rama tertawa, keluarganya memang seperti itu. Pantang memunda hal baik. Contohnya pernikahan Dian, kakaknya.

"Apa semua pernikahan pangeran dan puteri keraton selalu diatur oleh Susuhan?" Tanya Anin, memberanikan diri.

"Nggak lah. Hmm.. maksud gue. Cukup sampai di pernikahan Kenan ama elo aja, Ning. Selanjutnya, gue nggak mau diatur-atur kayak Kenan dan kakak gue. Gue hanya akan menikah dengan gadis yang gue cinta." Jawab Rama dengan tegas.

Anin tersenyum, andai ia juga bisa menentukan sendiri dengan siapa ia akan menikah. Tapi, takdir sepenuhnya tidak salah. Anin tidak ingin membayangkan kelanjutannya. Cukup mengikuti apa yang sudah menjadi garis takdirnya.

"Ning, reaksi lo pas ketemu Kenan pertama kali gimana? Kan selama ini elo nggak pernah tahu siapa cowok yang akan di jodohin sama elo. Nah.. pas tau itu Kenan gimana?"

"Saya lagi di Jogja, menghadiri acara pernikahan sahabat saya ketika ibu telpon dan nyuruh saya pulang cepat. Sampai rumah tau-tau saya mau di jodohin. Nggak dikasih tau pula siapa cowok yang mau dijodohin sama saya. Ya kagetlah, untung mas Kenan ganteng." Canda Anin.

Rama tertawa terbahak-bahak. Anin polos sekali.

"Kalau taunya Kenan tua bangka gimana, Ning? Masih mau?" seloroh Rama disela-sela tawanya.

"Ya mau nggak mau, Mas. Pasrah aja sih saya." Jawab Anin balas tertawa.

Tak terasa akhirnya mereka sampai juga di kostan Anin. Rama membantu menurunkan koper Anin.

FIL ROUGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang