Memaklumi sifat orang itu memang tidak mudah. Terkadang kita harus menahan ego dan mengalah. Ya, mengalah pada ketidak pekaannya, mengalah pada hal-hal yang tidak kita sukai. Menikah itu bukan bagaimana kita harus banyak menerima, tapi juga memberi. Memberi maaf, memberi kesabaran tiada batas.
Kenan kelewat sibuk setelah mereka pindah ke Jakarta. Sepertinya waktunya lebih banyak dihabiskan di kantor dan meeting dengan klien dari pada di rumah bersamanya. Bahkan ketika sarapan pun mereka tak banyak bicara. Kenan akan sibuk dengan tabletnya atau surat kabar pagi sebelum berangkat kerja. Bahkan ketika Anin mencoba membuka obrolan, Kenan hanya menjawab seadanya. Akhinya Anin hanya bisa memperhatikan suaminya dalam diam. Malam hari ? Kenan selalu pulang ketika Anin sudah terlelap, kamar mereka terpisah dan itu juga yang membuat mereka makin terasingkan.
Hari ke sepuluh di Jakarta, kini Anin di pusingkan dengan kedatangan sang mertua bersama seorang wanita yang usianya kisaran lima puluh tahun keatas mungkin menjelang enam puluh tahun. Wajahnya ramah dengan gurat senyum yang menambah kekaleman karakternya.
"Mbok Rumi," kata Nastiti memperkenalkan wanita itu.
"Sendika, ndoro." Wanita itu menangkupkan kedua tangannya dan menempelkannya ketengah kening, memberi salam.
Anin masih bingung, untuk apa Kanjeng ibu membawa mbok Rumi.
"Mbok Rumi ini yang dulu mengasuh Kenan dari kecil. Ibu sengaja bawa Mbok Rum kemari buat bantu-bantu kamu, Ndok." Ujar Nastiti lagi, cukup menjawab rasa penasaran Anin.
Anin tak mampu menolak, rasanya ia tak enak hati membantah keinginan mertuanya, walau sebenarnya ia belum butuh asisten rumah tangga. Selama di Jakarta Anin bisa menghandle semua pekerjaan rumah tangganya. Ya, secara Anin belum memiliki kesibukan lain selain berdiam diri di rumah dan berharap Kenan membawanya jalan-jalan seperti di Bandung tempo hari lalu.
"Ayo mbok saya antar ke kamar." Anin mengajak mbok Rumi ke kamar barunya. Wanita itu mengikuti sambil menjinjing tas berisi pakaian dan barang-barang pribadinya.
Anin membuka pintu kamar yang akan di tempati oleh mbok Rumi. Kamar itu letaknya dekat ruang makan. Kebetulan rumah Kenan tidak terlalu besar. Mereka hanya memiliki empat kamar, dua kamar di lantai bawah dan dua lagi di lantai atas. Kamar mbok Rumi termasuk luas untuk ukuran kamar seorang asisten rumah tangga.
"Wah, kamarnya luas dan bersih, ndoro putri." Ujar mbok Rumi takjub.
Anin hanya tersenyum menanggapinya.
"Biar mbok Rum betah di sini." Jawab Anin.
Anin membiarkan mbok Rumi mbongkar tas di kamarnya yang baru. Ia kembali ke ruang tamu menemui ibu mertuanya.
"Kanjeng ibu mau minum apa ?" tawar Anin.
Nastiti yang sedang berdiri mengamati interior rumah Kenan, menoleh kearah menantu kesayangannya.
"Ndak... ndak usah." Jawabnya seraya mengibaskan tangannya. Sebagai gantinya Nastiti mengajak Anin duduk di teras belakang yang menghadap langsung ke arah kolam renang. Mereka berbincang-bincang tentang banyak hal.
"Rencanamu setelah ini apa ?" tanya Nastiti, menyeruput wedang jahe yang dibuatkan mbok Rumi, selepas ia merapikan kamar tadi.
Anin menggeleng. Ia belum memiliki gambaran tentang masa depannya lagi setelah menikah dan lulus kuliah. Kalau dulu, ada begitu banyak angan-angan yang ingin ia wujudkan. Sekarang semua seolah menguap entah kemana ?
"Belum tahu. Rasanya masih asing di tempat ini."
Nastiti meletakkan cangkirnya. Tangannya meraih telapak tangan Anin, menggenggamnya erat. Ia tersenyum saat menantunya itu menoleh ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FIL ROUGE
Roman d'amourAnindya Ningrum, gadis berjiwa bebas dan penuh mimpi, sama sekali tidak menduga bahwa kehidupannya telah di atur sedemikian rupa. Dengan siapa dia akan menikah ? bagaimana ia harus bersikap ? Anin tidak pernah tahu, bahwa sejak kecil sang kakek tela...