04. The Hardest☘

5.8K 668 42
                                    

Jeno menghampiri Siyeon yang sedang duduk di pinggir tempat tidur dengan tatapan kosong ke arah jendela. Hanya itu yang ia lakukan dari pagi sampai malam hari.

Jeno berjongkok di depan Siyeon, "Mau makan sayang?"

Siyeon menggeleng pelan.

"Makan sedikit aja dong, nanti kamu sakit," bujuk Jeno.

Lagi-lagi Siyeon hanya menggeleng.

Jeno menghela nafas. "Aku beruntung masih punya kamu disini. Dan kayaknya keputusanku kemarin nggak salah."

"Keputusan apa?" Akhirnya Siyeon mau berbicara setelah seharian bungkam.

"Kemarin kak Mina sempet tanya aku. Pilih selametin Siyeon atau bayinya, dan jelas aku lebih milih kamu."

Siyeon menatap Jeno dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kenapa?" tanya Jeno. "Aku salah?"

"Jelas salah Jeno!! Harusnya kamu lebih milih nyelametin anak kita daripada aku!!" ucap Siyeon tajam.

Jeno tersenyum sinis lalu berdiri, "Terus kamu nggak mikirin apa yang bakal terjadi sama aku kalo kamu nggak ada?"

Siyeon hanya diam.

"Jangan egois Yeon. Kamu kira aku bisa hidup tanpa kamu? Kamu kira aku sanggup besarin anak kita tanpa kasih sayang ibunya?" tanya Jeno, sedikit kesal.

"Gampang banget ngomong kayak gitu," lanjut Jeno. "Kamu bener-bener nggak mikirin aku?"

"Iya, tapi kan anak kita juga penting Jeno," balas Siyeon.

"Itu keadaan genting Siyeon. Dan sekarang ketika kamu disuruh milih, pilih aku atau anak kita yang mati?"

Siyeon terdiam, perlahan kepalanya tertunduk.

"Nggak bisa jawab kan? Kalo bisa, lebih baik aku yang mati daripada aku kehilangan kamu atau anak kita!" ucap Jeno emosi.

Tak terasa air mata telah mengalir begitu saja di pipi Siyeon.

"Aku kecewa sama kamu," ucap Jeno lalu akhirnya pergi keluar kamar sembari membanting pintu.

Tangisan Siyeon semakin menjadi-jadi setelah kepergian Jeno. Rintihan penuh kesedihan itu memenuhi seluruh ruangan. Ia terluka, ia kehilangan dan yang paling memilukan adalah ia baru saja menyakiti perasaan seseorang yang paling ia sayangi.

Kini Siyeon sendirian, menangis tersedu-sedu tanpa ada orang yang menghapus air matanya. Ia merutuki dirinya yang terlalu egois dan larut dalam kesedihan. Ia bahkan tak memperhatikan suaminya seharian ini.

Siyeon merasa dadanya sangat sesak, seperti ada yang mengikatnya dengan tali. Kerongkongannya mendadak kering dan ia sulit sekali untuk bernafas. Astaga, penyakitnya kambuh disaat yang tidak tepat.

Siyeon membongkar laci meja, berusaha untuk menemukan inhaler-nya. Tapi nihil, ia tak dapat menemukan benda berbentuk tabung panjang itu.

Siyeon sudah pasrah, tidak ada pasokan oksigen yang masuk ke paru-parunya. Ia pasti akan mati saat ini juga.

Tapi disaat yang bersamaan, Jeno datang membawa benda yang sangat dibutuhkan wanita itu. Dengan khawatir, ia segera memasukkan inhaler itu ke mulut Siyeon.

"Tenang, pelan-pelan. Tarik nafas.. buang.. tarik nafas.. buang.." Begitu seterusnya yang diucapkan Jeno sampai nafas Siyeon teratur kembali.

"Udah enakan?" tanya Jeno.

Siyeon mengangguk lemah.

Tak ada yang diucapkan Jeno lagi setelah itu, sepertinya ia masih kesal dengan sang istri. Ia segera bangkit lalu berjalan ke ujung tempat tidur yang berlawanan dengan Siyeon, membaringkan tubuhnya memunggungi wanita itu.

[3] One And Only✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang