"Yang, hari ini Alya pulang. Kebetulan aku nggak bisa jemput di bandara, kamu mau nggak kalau jemput dia di bandara?"
Pagi ini, aku sedang membuatkan sarapan untuk Rendra. Karena aku tidak bisa memasak selain olahan mi, menggoreng nasi dan telur, jadinya pagi ini Rendra aku buatkan nasi goreng dengan lauk telur dadar.
Sembari menunggu masakanku selesai, Rendra memeluk tubuhku dari belakang. Sebenarnya aku risih, tapi meskipun Rendra sudah aku suruh duduk tetap saja dia menempel di belakangku. Macam cicak.
"Aku sendiri apa sama supir?"
"Terserah kamu. Mau sama supir nggakpapa, sendiri juga nggakpapa. Alya tiba di bandara jam 3 sore, katanya."
Aku menghela nafas, daripada aku ikut menjemput istri pertama Rendra, lebih baik aku pergi main sama Abigail.
"Harus banget nih?"
"Iya, biar kamu sekalian kenalan sama Alya. Dia orangnya baik kok."
Aku hanya mengangguk terpaksa. Setelah telur dadar yang aku goreng matang, aku melepas pelukkan Rendra, dan membawa sarapan kami ke meja makan.
Selesai sarapan, Rendra langsung pamit untuk pergi bekerja. Selepas kepergian Rendra, aku membersihkan piring-piring kotor dan peralatan masak yang tadi aku pakai.
Kata Rendra, di rumah ini hanya ada satu supir dan satu orang tukang bersih-bersih. Untuk urusan dapur--seperti memasak--itu sepenuhnya tanggung jawab istri pertama. Karena katanya, istri pertama Rendra yang bernama Alya itu pintar memasak.
Sebenarnya kehadiran supir itu bisa dibilang opsional, karena kalau pergi ke kantor Rendra lebih suka membawa mobilnya sendiri. Yang jadi pertanyaanku adalah; kenapa meng-hire supir kalau bisa sendiri?
Kadang supir datang cuma pas dibutuhkan saja, seperti sekarang ini, Pak Narto disuruh untuk menjemput istri pertama Rendra di bandara. Karena kebetulan hari ini adalah hari senin, dan itu adalah day off-ku, jadi aku lebih memilih untuk pergi bersama dengan Abigail, daripada ikut menjemput istri pertama Rendra.
Meski sebenarnya aku penasaran seperti apa bentukkan istri pertama Rendra. Tapi, ah nanti juga ketemu di rumah. Buat apa aku ikut ke bandara? Cuma jemput aja kok ramai-ramai. Macam ketemu artis saja.
"Bu Nadine mau kemana?"
"Mau ke studio, Pak."
"Tidak jadi ikut menjemput Bu Alya?"
"Enggak, Pak."
Nggak tertarik.
"Ke studionya mau saya anterin, Bu?"
Aku menggeleng. Aku bisa sendiri. Biasanya aku juga pergi sendiri kok. Aku lebih suka naik Piaggio-ku daripada naik Pajero Sport-nya Rendra. Pajero Sport tidak bisa berjalan gesit.
"Jangan terlalu formal, Pak. Panggil aja Nadine. Nggak pakai 'bu' nggakpapa kok, nggak masalah. Lagian saya lebih muda daripada Bapak."
Pak Narto hanya tersenyum dan menggeleng, "Nggak enak Bu kalau saya manggilnya pakai nama."
"Yaudah terserah Bapak, tapi manggilnya jangan 'Bu' dong, panggil Mbak aja deh. Saya belum jadi ibu-ibu."
Pak Narto kembali tersenyum, dan mengangguk. "Baik, Bu-- Eh, baik Mbak."
"Yaudah, yaudah, senyaman Bapak aja deh mau manggil apa, yang penting jangan di panggil sayang."
Soalnya aku tidak suka laki-laki.
Pak Narto tertawa mendengar jawabanku, senangnya bisa membuat orang ketawa pagi-pagi.
"Bu Nadine ternyata orangnya lucu ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Soulemetry
RomanceNadine tidak pernah berpikir kalau akan menjadi istri kedua. Menikah dengan laki-laki saja tidak pernah terpikirkan olehnya, apalagi memikirkan tentang menjadi istri kedua. Nadine tidak pernah bersungguh-sungguh mencintai suaminya, karena dia menik...