17. Bengaluru

6K 744 151
                                    

Selama tinggal bersama dengan keluarga kecil Rendra, tidak pernah sekalipun aku ikut sarapan bersama. Yah, karena memang hanya aku seorang yang selalu bangun siang. Aku bukan tipe manusia early bird, tidak seperti mereka--Rendra, Mbak Alya, Lora.

Namun, pagi ini sangat berbeda dengan pagi-pagi biasanya. Entah apa yang sedang merasuki tubuhku, sebelum jam tujuh pagi, aku sudah bangun. Jangan kaget, aku juga kaget kok.

Selesai melakukan ritual pagi, aku turun ke bawah untuk ikut sarapan bersama. Di ruang makan sudah ada Rendra dan Mbak Alya. Anak perempuan mereka belum kelihatan.

"Tumben kamu bangun pagi, Nad."

"Hehe, iya nih Mbak."

Begitu sampai di ruang makan, aku membantu istri pertama Rendra untuk mempersiapkan sarapan. Rendra yang sudah rapi dengan setelan-nya sibuk memperhatikan kami.

"Aku seneng lihat kalian akur gini."

Aku maupun Mbak Alya tidak ada yang merespon perkataan Rendra dengan ucapan, kami hanya tersenyum. Sudah pasti senyumku dipalsukan, entah senyum Mbak Alya. Sampai sekarang, aku masih merasa kasian dengan Mbak Alya, karena hati suaminya harus terbagi. Jahat sekali diriku ini. Tapi Rendra lebih jahat kok. Aku minta cerai saja Rendra tidak mau.

Setelah semua makanan siap, aku duduk di sebelah Mbak Alya, sedangkan Rendra duduk berhadapan dengan Mbak Alya. Ketika Mbak Alya hendak memanggil anak perempuannya, Lora sudah terlebih dahulu datang sebelum Mbak Alya berteriak.

Hal pertama yang dilakukan Lora adalah menatapku tidak suka. Dia seperti terkejut melihat kehadiranku di meja makan pagi ini.

Setelah semua orang siap untuk makan pagi, Rendra mengajak kami untuk berdoa bersama. Selesai berdoa, kami menikmati sarapan pagi kami dengan tenang.

Ohya, untuk informasi saja nih. Rendra itu orang yang religious--bisa dilihat dari jidatnya. Pria itu juga selalu menyuruh aku untuk memakai hijab jika keluar rumah, tapi selalu aku tolak. Aku belum siap berhijab karena belum mendapatkan hidayah.

Aku tidak mau berhijab karena paksaan, aku ingin niat berhijab itu muncul dari dasar hatiku yang paling dalam. Sebagai seorang perempuan muslim, aku juga ingin menutup auratku.

Tapi sayangnya sampai saat ini aku masih belum mendapatkan hidayah. Mungkin karena aku tidak peka mendengar suara Sang Khalik, mungkin itu juga karena aku jarang sholat... sih.

Yaampun, bisa-bisanya aku menikahi pria yang seperti itu. Ngidam apa dulu Mama, tuh?

$$

"Alya, Nadine, Lora. Ada yang ingin aku sampaikan."

Selesai sarapan, Rendra tidak langsung pergi ke kerja. Dia masih tinggal untuk menyampaikan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang ingin dia sampaikan, sepertinya ada sesuatu hal yang serius.

Walaupun Rendra terdengar serius, tetapi hanya aku dan Mbak Alya yang terlihat tertarik dengan apa yang ingin disampaikan oleh Rendra. Lora yang aku perhatikan, tampak sangat tidak tertarik.

"Jadi, kemarin malam aku mendapatkan kabar kalau cabang perusahaan yang ada di Bengaluru mengalami musibah. Musibah pastinya aku belum tahu, karena anak buahku di sana tidak memberitahukan detailnya. Jadi, terpaksa aku harus ke sana untuk memastikan semuanya baik-baik saja."

Ingin rasanya aku tersenyum senang saat ini, namun sebisa mungkin aku menyembunyikan rasa bahagiaku. Jangan sampai ada yang tahu kalau aku senang mendengar kabar ini.

"Berapa hari kamu di sana, Mas?"

"Tergantung sih, soalnya 'kan aku belum tahu kondisi pastinya di sana, jadi ya belum pasti sampai kapan. Tapi aku usahakan tidak lebih dari satu bulan. Sekalian aku mau menghadiri undangan dari Shaheer Khan, dan menegok anak perusahaan yang ada di Mumbai."

"Kira-kira kamu mau berangkat kapan, Mas? Biar aku bisa persiapin sekalian keperluanmu selama di sana."

"Nona menjadwalkan dua hari lagi berangkat. Ohya, perjalanan kali ini aku mau ngajak kamu, Al. Karena ada beberapa hal yang harus kamu handle waktu di Bengaluru."

Mendengar Rendra akan pergi itu adalah sesuatu hal yang sangat membahagiakan, apalagi ditambah kenyataan bahwa istri pertama yang dipilih oleh Rendra untuk diajak pergi. Mana bisa aku untuk tidak bersorak riang? Untung bukan aku yang diajak. Yipiiii!

"Aku ikut!"

Secara serentak, arah pandang kami tertuju pada Lora. Teriakannya sangat menarik perhatiaan kami. Terkhususnya perhatianku. Sana ikut sekalian sana.

"Tidak bisa, Lora. Ayah dan Bunda pergi ke India bukan untuk liburan, tapi untuk pekerjaan. Lagian 'kan kamu masih kuliah, belum memasuki masa liburan."

"Tapi 'kan Bunda bukan karyawan Ayah. Kenapa Bunda harus ikut? Kenapa Ayah nggak ngajak selingkuhan Ayah aja, sih? Kenapa harus bawa-bawa Bunda?"

"Lora!"

Secara bersamaan Rendra dan Mbak Alya meneriaki nama Lora dengan lantang. Tidak aku sangka Lora kembali memperlihatkan siapa dirinya yang asli. Apa dia sudah bosan bermain peran? Lagian Rendra mengajak Mbak Alya itu adalah suatu hal yang--sangat--benar.

"Jangan bicara sembarangan, Lora!"

"Bicara sembarangan gimana? Perempuan di hadapanku ini 'kan memang selingkuhan Ayah!"

Untuk beberapa jenak Lora kembali menusuk mataku dengan tatapan tajamnya. Setelah puas menusuk mataku, kini giliran mata Rendra yang ditusuk dengan tatapan tajam Lora.

"Perempuan di hadapan kamu itu adalah Bunda kamu juga, Lora!"

Tiba-tiba Lora melempar sendok yang dia pegang ke arah meja makan hingga menimbulkan dentingan nyaring. Perempuan itu berdiri, menggeser kursinya mundur menjauhi Rendra.

"Dengar ya, Bundaku itu cuma satu. Bukan dua, tiga, ataupun empat!"

Setelah mengatakan hal itu dengan lantang, Lora pergi meninggalkan meja makan. Terdengar helaan nafas yang keluar dari mulut Rendra dan Mbak Alya. Tidak lama, aku merasakan pundakku diusap lembut. Aku menoleh menatap ke arah Mbak Alya yang mengusap pundakku.

"Maafkan ketidaksopanan Lora, ya Nadine? Emosinya memang masih labil."

Aku tersenyum, memegang tangan Mbak Alya yang berada di pundakku.

"Tidak apa-apa, Mbak."

Mbak Alya mengangguk, lalu berdiri dari duduknya, "Aku pergi menemui Lora dulu ya."

Setelah melihat aku mengangguk, Mbak Alya beranjak meninggalkan aku. Kini, di ruang makan hanya tinggal aku dan Rendra--yang sekarang sedang menundukkan kepala sambil mengusap-usap kasar rambutnya.

Aku merasa kasian melihat Rendra yang seperti ini, dia terlihat lemah dan terluka saat ini. Aku yakin, sampai sekarang pasti Lora masih menyimpan kekecewaan terhadap Ayahnya yang melakukan poligami.

Salah siapa melakukan poligami. Mana poligaminya dengan orang yang salah lagi.

"Maafkan Lora ya, Yang?"

Rendra menatapku, aku hanya mengangguk. Aku tidak pernah merasa tersakiti melihat sikap Lora yang begitu bernafsu untuk membenci aku. Hanya saja telingaku yang selalu terganggu mendengar sebutan 'pelakor' atau 'selingkuhan' yang selalu ditujukan padaku. Panggilan itu terdengar sangat menganggu.

"Maafkan juga karena aku tidak mengajak kamu ke India. Aku memilih Alya karena aku butuh keahliannya dalam mengusut kasus. Aku terlalu yakin kalau masalah di Bengaluru itu tidak jauh-jauh dari masalah hukum."

Aku kembali mengangguk, "Tidak apa-apa, aku paham."

Pun aku tidak pernah mempermasalahkan jika Rendra ingin mengajak pergi istri pertamanya. Justru itu membuat aku bahagia. Aku bisa bebas melakukan apapun, menikmati waktuku tanpa adanya Rendra yang suka mengekang.

Aku sudah tidak sabar menunggu waktu kepergian Rendra dan Mbak Alya. Pasti hari itu akan menjadi hari yang sangat menyenangkan.

$$$$$

SoulemetryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang