5. Ikhlas

8.3K 807 24
                                    

Hari ini aku sudah harus ikut Rendra kembali ke kediamannya. Setelah orang tuaku mengetahui keadaan rumah tangga Rendra yang sebenarnya, mereka tidak jadi membenci Rendra. Sebagai orang tua, mereka memaklumi keinginan Rendra untuk mempunyai momongan.

Menikah selain karena ingin mendapatkan cap halal untuk melakukan 'hubungan', juga karena ingin berkembang biak bukan? Karena persyaratan adopsi itu susah, makanya Rendra ambil jalan tengah. Dia tetap ingin mengalirkan darahnya pada anak dari hasil 'usahanya'.

Pokoknya, pernikahan ini adalah mimpi buruk bagiku. Banyak hal yang pasti akan menghampiriku.

Aku harus bisa melayani Rendra dengan baik.

Aku harus bisa memberikan momongan.

Aku harus mau kalau Rendra meminta haknya sebagai seorang suami.

Aku harus bisa lebih displin, lebih rajin, dan lebih-lebih lainnya.

Ohya, dan aku harus siap menjadi musuh bebuyutan istri pertama Rendra.

Duh!

Berurusan dengan selingkuhan saja ribetnya minta ampun, eh ini aku malah harus berurusan dengan istri pertama.

Aku sih berdoa agar Rendra cintanya tetap sama istri pertama, dan tidak lagi mencintai aku. Jadi aku tidak harus terus berpura-pura mencintai Rendra. Aku beritahu ya, berpura-pura itu adalah hal yang melelahkan. Percaya deh.

"Nadine, kamu nggak usah kerja lagi ya? Biar aku aja yang kerja."

Aku yang tadinya sibuk memperhatikan jalanan, terpaksa harus menoleh kearah Rendra yang sedang fokus menyetir. Bisa-bisanya dia menyuruh aku berhenti bekerja. Menjadi tato artis dan pemain teater itu adalah kecintaanku. Mana mungkin aku meninggalkan mereka.

No way!

"Nggak mau. Aku tetap kerja. Aku nggak mungkin ninggalin studio tatoku begitu aja. Studio ku baru cari pasaran, kasian kalau aku tutup gitu aja, nggak balik modal dong aku."

"Nanti aku ganti modal kamu. Kamu nanti capek kalau kerja terus. Kamu kan juga masih suka pentas bareng sama komunitas teater kamu."

Rendra menoleh sejenak, lalu kembali memperhatikan jalanan. Aku hanya mendengus.

"Nggak bisa, Ren. Tato sama teater itu jiwa aku, kecintaan aku. Kamu jangan menghambat kecintaan aku dong. Kan sebelum menikah kita sudah bahas masalah ini."

"Tapi--"

"Rendra, aku nggak mau berhenti. Titik."

Rendra menghela nafas, merasa kalah. "Yaudah, tapi inget, jangan sampai kecapekan. Tetap jaga kesehatan."

"Hm."

Setelah itu tidak ada lagi percakapan diantara kami.

Aku paling tidak setuju dengan hal seperti ini. Hanya karena sudah menjadi suami, terus bisa dengan seenaknya mengatur apa yang baik dan tidak baik buat diri ini begitu?

Aku yang punya tubuhku, jadi pasti aku yang lebih tahu batas maksimum tubuhku.

Berani-beraninya laki-laki itu ingin mencoba menjauhkan aku dari teater dan tato. Tidak akan pernah bisa.

$$

"Kamu nikah kok nggak ngundang aku sih? Tega kamu!"

"Bi, aku nggak ngundang kamu karena aku nggak mau nyakitin hati kamu. Tahu aku mau nikah aja udah nyakitin hati kamu, apalagi kamu datang ke acara nikahan aku."

"Tapi kan aku pengen dateng ke pernikahan kamu, Din!"

"Aku cuma nggak pengen pernikahanku jadi viral karena di datengin mantan pacar, udah gitu mantan pacarku cewek lagi. Nggak, aku nggak mau kayak gitu."

Abigail yang duduk di sampingku tiba-tiba memukul, mencubit dan menggigit lenganku. Aku tahu dia kesal, aku tahu dia patah hati, aku tahu aku sudah menyakiti hatinya. Tapi aku juga sadar kalau aku tidak bisa jika harus menjauhinya.

Aku masih menginginkan hidup bersama dengan Abigail.

"Kamu tuh jahat, kamu tuh tega. Sadar nggak sih kamu udah nyakitin aku, ha?"

Suara Abigail mulai terdengar bergetar, aku hanya bisa menghela nafas, sedih. Aku sangat sadar dengan apa yang sudah aku lakukan. Aku terpaksa melakukan ini karena tidak ingin membuat orang tuaku kecewa.

Rasanya aku ingin bicara jujur dengan orang tuaku, kalau aku tidak menyukai laki-laki. Tapi rasanya juga sangat sulit untuk berkata jujur. Aku hanya belum siap, dan mungkin tidak akan pernah siap.

Aku tidak ingin melihat dan mendengar respon dari orang tuaku. Aku sangat tahu Papa dan Mama adalah orang yang taat beragama.

Aku juga sangat tahu kalau Papa dan Mama bukanlah pendukung kaum bendera pelangi, terlebih Papaku. Papa adalah salah satu pembenci dan pengutuk kaum bendera pelangi. Sudah sangat sering aku mendengar Papa mencaci dan memaki perbuatan kaum warna-warni--jika kebetulan tidak sengaja membaca berita tentang LGBT.

Aku sangat yakin, kalau Papa sampai tahu anak semata wayangnya ini 'berbeda' dari yang lain, pasti bisa dibabat habis aku sama Papa.

"Iya aku sadar, Bi. Maafin aku. Makanya kalau kamu mau mukul, nyubit atau gigit semua bagian tubuhku, aku bakal diem aja. Aku rela, asalkan kamu bahagia."

Perempuan cantik yang duduk disampingku hanya menghela nafas, dia menyandarkan kepalanya pada bahu kiriku. Aku juga tahu, kalau Abigail masih mencintai aku. Karena memang diantara kami tidak ada masalah. Yang masalah itu; ketika Rendra mengajak aku menikah.

Dari awal hubunganku dengan Abigail memang sudah ada Rendra. Karena sebenarnya, aku berpacaran dengan Abigail dibelakang Rendra. Ya mau gimana lagi? Aku cintanya sama Abigail bukan sama Rendra.

"Aku nggak nyangka, ternyata sekarang kamu sudah punya orang lain. Padahal tiga hari yang lalu kita masih mesra-mesraan."

Aku menghela nafas, tangan kiriku mulai bergerak naik untuk mengusap kepala Abigail.

"Sekarang kalau kamu mau, kita bisa mesra-mesraan kok. Kan nggak ada orang lain di kamar kos ini selain kamu dan aku."

Abigail menghentikan usapan tanganku pada kepalanya. Dia membimbing tanganku untuk dia kecup.

"Otakmu tuh kotor banget. Apa kamu juga bersikap seperti ini pada suamimu?"

Mataku terpejam merasakan kecupan Abigail pada jari-jemariku. Abigail tidak tahu bagaimana aku menghindari Rendra ketika dia ingin melakukan 'kewajibannya'.

Selama tiga hari ini Rendra tidak bisa menyentuhku hingga titik sensitif yang memang tidak akan aku berikan untuk disentuh oleh Rendra, karena memang aku menghindarinya dengan berbagai alasan.

"Rendra tidak pernah menyentuhku hingga terjadi pergulatan di ranjang. Aku tidak pernah mengijinkan dia menyentuhku lebih dari sekedar mengenggam tangan."

Abigail mendongakkan kepalanya, sedangkan aku menundukkan kepala. Hingga pada akhirnya secara perlahan kami semakin mendekat dan mempertemukan bibir kami masing-masing.

Abigail mencium lembut bibirku. Aku balas mencium bibir Abigail, hingga beberapa detik. Abigail melepas ciumannya.

"Iya, aku percaya. Rasamu masih sama. Masih rasa Nadine."

Aku tersenyum, Abigail pun ikut tersenyum. Duh seksinya mantan aku.

"Nadine, aku sayang sama kamu."

"Iya, aku tahu. Aku juga sayang sama kamu, Bi."

Lalu bibir kami mulai bertemu kembali. Kami sama-sama memberikan sepenuhnya cinta kami. Mungkin bisa saja setelah ini aku sudah tidak bisa mengunjungi Abigail karena sibuk dengan Rendra, atau Abigail akan memilih menjauhiku karena tidak ingin terus-terusan sakit hati.

Aku tidak akan menghentikan langkah Abigail jika dia berniat untuk meninggalkan aku. Karena memang aku tidak bisa menjanjikan hidup bersama, meski aku sangat menginginkan hidup bersamanya.

Aku tidak akan menahan mimpi Abigail, aku tidak akan menjadi benalu untuknya. Aku akan senang jika Abigail menemukan belahan hatinya, dan mendapatkan kembali kehidupannya.

Aku ikhlas kalau hari ini adalah hari terakhirku bersama dengan Abigail.

Sungguh, aku ikhlas.

$$$$$

SoulemetryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang