9. Negara Ber-flower

7.1K 727 34
                                        

"Dateng telat, muka di tekuk, temen-temennya nggak disapa. Kenapa sih, Nad? Ada masalah?"

Aku mendengus, pagiku lagi-lagi dibuat kacau oleh sikap anak perempuan Rendra. Sampai sekarang, aku belum juga tahu siapa nama anak itu. Padahal Mbak Alya--istri pertama Rendra--pernah memperkenalkan nama anak itu padaku, tapi sayangnya aku lupa. Maklum, aku sedikit buruk dalam hal mengingat nama.

Sudah tiga hari ini anak perempuan itu tidak bersikap baik padaku, dia selalu mengacuhkan aku ketika aku mencoba untuk bersikap baik. Padahal ibunya sudah dapat beradaptasi dengan kehadiranku ditengah-tengah mereka. Tapi anaknya masih belum bisa menerima kehadiranku.

Kalau boleh aku memilih, aku juga tidak akan pernah mau menganggu keluarga Mbak Alya dan Rendra. Menurutku, Rendra yang tampan itu cocok dengan Mbak Alya yang cantik dan terlihat dewasa.

Dasar Rendra bodoh.

"Bete, Sis."

"Kenapa? Goyangan suami lo semalam nggak asik?"

Mataku membelalak mendengar perkataan Sissy. Tidur berdua saja jarang, bagaimana mau merasakan 'goyangan'nya? Hih, membayangkannya saja bisa membuat aku merinding.

"Iya nih, nggak asik. Asikan juga goyangan lo, Sis. Nagih."

Aku sengaja mencolek dagu Sissy, sedangkan perempuan itu menepis tanganku dengan kasar. Matanya melotot.

"Bangke!"

Aku terkekeh sembari menghindari pulpen yang dilemparkan oleh Sissy.

Ohya, Sissy ini adalah temanku semasa kuliah. Dia ini pintar menggambar dan sangat mencintai seni, terkhususnya tato. Maka tidak aneh jika melihat tubuhnya yang hampir tertutup dengan tato yang penuh makna.

Meski tubuh Sissy seperti kanvas yang dipenuhi banyak gambar, perempuan botak itu bukan orang yang jahat. Sissy berhati lembut, dan berperilaku sopan. Dia baik, dan suka membantu orang lain. Menurutku, Sissy ini versi perempuannya Agus Tato, pendeta asal Semarang yang pernah viral itu.

Selain Sissy, aku juga mempunyai satu lagi teman yang membantu menghidupkan studio tatoku. Namanya Allen. Laki-laki itu juga pandai menggambar, terlebih dari itu, Allen pandai me-manage uang dan segala hal yang berhubungan dengan kelangsungan hidup studio tatoku.

Pokoknya, aku sangat berterimakasih karena mereka mau ikut banting tulang menghidupkan studio ini agar dapat dikenal masyarakat.

"Jadi, gimana Abigail? Masih kontakan?"

Mendengar nama Abigail disebut, aku hanya bisa menghela nafas. Tiba-tiba saja senyuman dan tawa Abigail terputar jelas di depan mataku. Ah, aku jadi merindukan perempuan seksi itu.

"Pengennya sih masih kontakan. Tapi dia sendiri yang memilih menghindari gue. Dia nggak mau memperjuangkan kisahnya bersama gue."

Sudah beberapa minggu ini aku memang tidak mengontak Abigail, karena terakhir bertemu dengannya, Abigail mengatakan bahwa dia sudah tidak bisa lagi denganku, Abigail pamit meninggalkan aku ke NYC, dia ingin mengejar cita-citanya menjadi pemain teater Broadway.

Kalau mengingat kepergiannya hanya bisa membawa kesedihan dalam hatiku. Ah, aku jadi merindukan pelukannya.

"Ya jelaslah Abigail ngehindar. Mana mau dia ngerebut istri orang."

Kalau masih memasuki hari-hari seperti selasa, dan rabu, studio tatoku memang agak sepi. Nanti ramainya pas memasuki hari kamis sampai minggu. Aku tidak tahu mengapa siklus itu bisa terbentuk. Jadi hari ini aku, Sissy dan Allen hanya duduk santai sambil menonton tv di ruang tunggu studio.

"Hush!"

Sissy yang mendengar perkataan Allen hanya bisa memukul lengannya. Aku yang mendengar perkataan Allen hanya bisa menghela nafas dan membenarkan perkataan itu.

"Loh, yang gue katakan itu bener 'kan? Coba lo Sis, kalau tiba-tiba Ellena nikah sama laki-laki, apa lo bakal mempertahanin hubungan lo? Enggak, 'kan? Hubungan kayak elo-elo itu di negara ber-flower ini tuh di tentang habis-habisan."

"Kalau gue jelas mempertahankan, gue akan berusaha biar bisa merebut Ellena kembali ke pelukan gue. Kalaupun gue harus bermain dibelakang, nggakpapa gue mau kok. Jangan samain gue dengan Abigail dong. Abigail tuh pengecut. Gue enggak!"

"Yakin lo bakal mempertahankan hubungan lo? Yakin lo kuat?"

"Yakin!"

Aku hanya bisa menghela nafas mendengarkan perang lidah diantara Sissy dan Allen. Allen memang sudah mengetahui orientasi seksualku dan Sissy. Untungnya Allen bukan homophobic, dia netral. Maka dari itu dengan senang hati aku merekrut Allen jadi partner kerjaku.

"Jangan sekali-kali lo bilang Abigail itu pengecut, Sis. Di sini, gue yang pengecut. Seharusnya dari awal gue mempertahankan hubungan gue dengan Abigail. Abigail serius sama gue, tapi guenya yang takut coming out ke orang tua gue. Itu yang menjadi penghambat hubungan gue. Makanya gue mau-mau aja nikah sama Rendra. Mumpung ada yang mau, kenapa enggak. Tapi sekarang, gue nyesel. Banget."

"Sorry, Nad."

Sissy yang duduk di sampingku, mengusap punggungku. Aku mengangguk menerima permintaan maafnya.

"Terus lo mau gimana, Nad? Mencoba mencintai Rendra atau memilih bermain di belakang Rendra dengan mencari cewek lain?"

Kembali aku menghela nafas. Dari kemarin ini yang aku pikirkan. Apakah aku harus mencoba mencintai Rendra? Ataukah memilih untuk mencari pasangan perempuan yang aku suka?

"Gue belum tahu. Tapi kayaknya, gue bakal coba buat mencintai Rendra. Nggak mungkin seumur hidup gue main peran. Gue nggak bisa terus-terusan berpura-pura. Capek."

"Kalau itu keputusan lo, gue bakal dukung, Nad. Bilang aja sama gue kalau lo butuh tips-tips menyenangkan pria."

"Halah, dasar gay!"

"Enak aja ngatain. Lo tuh yang gay!"

Dan mulailah perang lidah antar Sissy dan Allen yang tadi sempat tertunda. Mereka mulai saling memaki dan menghujat. Kenapa sih mereka tidak bisa akur? Atau bagaimana kalau mereka menjalin hubungan saja? Biar Ellena sama Sophia--pacarnya Allen.

Huft.

$$$$$

SoulemetryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang