-Elora Sudut Pandang-
Kadang apa yang diinginkan berbeda dengan kenyataan.
Aku tidak habis pikir, baru ditinggal satu minggu saja Ayah sudah berulah seperti ini. Bagaimana kalau di tinggal satu bulan? Atau bahkan satu tahun?
Aku tidak pernah menyangka kalau Ayah akan berbuat seperti ini pada Bunda, karena selama ini yang aku tahu Ayah itu orangnya baik, Ayah sangat menyayangi dan mencintai Bunda.
Tapi ini?
Aku tidak akan pernah bisa menerima kenyataan ini. Aku tidak mau memiliki dua orang ibu. Bagiku, Bunda sudah sangat cukup untuk aku. Tidak perlu ditambah seorang lagi. Apalagi perempuan itu terlihat masih muda.
No, no, no. Aku tidak mau!
"Lora, ayo keluar. Makan malam sudah siap."
Terlebih dari itu, aku juga masih tidak habis pikir dengan Bunda, bisa-bisanya Bunda menebarkan senyuman kepada perempuan muda yang telah sah menjadi istri kedua Ayah. Apasih yang sebenarnya ada dipikiran Bunda?
Dan kenapa sih Ayah tidak pernah membicarakan hal ini padaku? Kenapa Ayah tidak bertanya pendapatku terlebih dahulu ketika Ayah ingin berpoligami? Sebenarnya Ayah menganggap aku sebagai anaknya tidak, sih?
"Lora nggak laper, Bun."
"Jangan seperti ini, Nak. Buka pintunya, Bunda mau masuk."
Aku menghela nafas, Bunda terlalu sempurna untuk disakiti. Ayah benar-benar bodoh, bisa-bisanya menyakiti hati seorang perempuan yang sangat baik seperti Bunda.
Karena tidak ingin membuat Bunda menunggu, aku menutup Macbook-ku, lalu beranjak dari meja belajar untuk membukakan pintu. Setelah pintu terbuka, Bunda masuk ke dalam kamarku tanpa menunggu persetujuan terlebih dahulu.
"Aku nggak laper, Bun. Bener deh."
"Kemari, duduk di sebelah Bunda."
Kembali aku menghela nafas, setelah menutup pintu kamar, aku menghampiri Bunda, dan duduk di pinggiran ranjang--di samping kanan Bunda.
"Kamu sudah besar, Lora. Umurmu sudah tidak muda, bentar lagi sweet twenty-two. Tolong jangan bersikap seperti anak kecil. Bunda tahu kamu kecewa sama Ayah, tapi tolong jangan siksa tubuh kamu sendiri. Kalau waktunya makan, ya makan."
Aku hanya bisa menghela nafas, "Sebenarnya hati Bunda sakit nggak sih? Apa ini yang membuat Bunda menangis sewaktu di pesawat kemarin?"
"Sudah dibilang, Bunda tidak menangis. Bunda hanya kelilipan."
"Bun, kelilipan itu adalah alasan paling pasaran yang selalu dipakai kebanyakan orang. Aku bisa bedain mana kelilipan, mana nangis. Ekspresi Bunda waktu itu sudah menjelaskan kalau Bunda menangis. Sudahlah jangan bohong."
Bunda menghela nafas, matanya menerawang jauh ke depan. Aku tidak tahu apa yang sedang ditatap oleh Bunda saat ini.
"Sudah Bunda bilang, kamu itu cocoknya masuk jurusan Psikologi, tetapi kenapa kamu masih kekeh ingin masuk ke jurusan Matematika?"
Rolling eyes. Hanya itu yang bisa aku lakukan, kenapa sih Bunda malah membahas perihal jurusan yang aku ambil?
"Bun, tolong jangan mengalihkan pembicaraan ini. Bagiku, Matematika itu lebih menantang daripada Psikologi. Sekarang tolong jawab pertanyaanku, Bun."
Bunda menatapku, dahinya mengernyit, "Pertanyaan yang mana?"
"Bunda!"
Wanita yang usianya kini sudah menginjak 36 tahun itu terkekeh, sekarang aku mulai kesal dengan sikap Bunda.
"Baiklah, Bunda akan jawab. Tapi setelah itu, kamu makan bareng Bunda ya?"
Aku mengangguk. Sebenarnya malam ini aku tidak mau makan, karena pasti di meja makan akan ada istri kedua Ayah. Aku masih belum bisa menerima ini. Mungkin aku tidak akan pernah bisa menerima ini.
Kenapa semesta suka sekali bercanda? Setelah kepergian Mami, kenapa sekarang aku malah diperhadapkan dengan kenyataan yang seperti ini?!
"Kalau kamu bertanya, apakah hati Bunda sakit atau tidak. Pasti jawabannya sakit. Bunda sudah bersama dengan Ayahmu itu empat belas tahun, itu sudah termasuk masa pacaran dan PDKT. Bunda tidak pernah menyangka kalau hal ini akan terjadi, karena yang Bunda tahu Ayah kamu bukan orang yang suka mendua."
Bunda menghela nafas setelah menyelesaikan ucapannya, kepala Bunda tertunduk. Aku yang tidak tega melihat Bunda, menarik tangan Bunda kedalam genggaman tanganku. Mencoba memberikan kekuatan.
"Tapi kenapa Ayah tega melakukan hal ini pada Bunda kalau Ayah benar-benar mencintai Bunda?"
Bunda mendongakkan kepalanya, lalu menatapku. Bunda tersenyum, mengusap tanganku dengan ibu jarinya.
"Ayah kamu tidak akan pernah bertindak tanpa ada alasan yang kuat. Suatu hari kamu pasti juga akan tahu. Sekarang lebih baik kita makan."
"Kasih tahu sekarang, Bun."
Bunda menggeleng, "Sudah, ayo kita makan, Ayahmu sudah menunggu di bawah sana."
Bunda berdiri dari duduknya, menatapku. Tangan kami masih saling menggengam, ketika Bunda ingin melepaskan genggamannya, aku menahannya.
"Ceraikan Ayah, Bun. Ceraikan saja."
Bunda menatapku tidak percaya, lalu menggeleng.
"Tidak bisa seperti itu, Lora."
Aku berdiri dari dudukku, menatap Bunda--atau lebih terlihat seperti menantang. Aku masih tidak paham dengan jalan pikiran Bunda.
"Kenapa? Apa Bunda mau dimadu? Apa Bunda siap dimadu?"
Terdengar helaan nafas dari Bunda. Bunda mendekatiku, menyentuh bahuku dengan kedua tangannya. Bunda menatapku, tatapannya sangat dalam. Aku tahu Bunda sangat tersakiti dan terpukul, tapi Bunda sedang mencoba tegar dihadapanku.
Tidak perlu berpura-pura, Bun. Aku tahu Bunda sedang tersakiti.
"Lora, di dunia ini tidak ada seorang pun manusia yang mau dimadu. Tapi Bunda juga tidak bisa menceraikan Ayahmu begitu saja. Semua butuh proses, dan keikhlasan. Nikmati saja dulu prosesnya, biarkan Allah yang memutuskan akan bagaimana akhirnya."
"Tapi, Bun--"
"Sudah jangan dipikirkan. Ayo makan."
Untuk menutup argumen kali ini, Bunda memberikan senyumannya, lalu pergi meninggalkan aku. Melihat punggung Bunda yang menjauh, aku hanya bisa menghela nafas tidak percaya dengan sikap Bunda.
Bisa-bisanya Bunda menerima ini semua. Kalau aku berada diposisi Bunda sekarang, pasti aku sudah marah dan minta cerai. Tapi Bunda bukanlah aku yang suka marah-marah. Bunda adalah Bunda dengan hati baiknya.
Benar-benar, Bunda adalah malaikat yang melipat sayapnya.
Ayah memang bodoh, bisa-bisanya menyakiti perempuan berhati malaikat seperti Bunda.
Alam semesta, alam semesta, permainan apa lagi yang akan kau mainkan kali ini?
$$$$$

KAMU SEDANG MEMBACA
Soulemetry
RomansNadine tidak pernah berpikir kalau akan menjadi istri kedua. Menikah dengan laki-laki saja tidak pernah terpikirkan olehnya, apalagi memikirkan tentang menjadi istri kedua. Nadine tidak pernah bersungguh-sungguh mencintai suaminya, karena dia menik...