"Ada dawet tuh di kulkas, kalau kamu mau tinggal ambil aja."
Aku yang baru saja pulang dari studio, sudah disambut dengan tawaran Lora. Tumben sekali perempuan itu menawariku makanan, padahal 'kan biasanya kalau ada makanan dia tidak pernah mau berbagi denganku.
"Kamu bikin sendiri apa beli?"
"Bikin sendiri."
"Manis nggak?"
"Untukku sih manis, tidak tahu kalau untukmu. Kalau semisal kurang manis, kamu tinggal lihatin aku aja."
"Oke."
Tanpa banyak fa-fi-fu, aku langsung berjalan ke arah dapur untuk mengambil dawet buatan Lora. Jarang-jarang 'kan Lora mau berbagi denganku. Setelah mengambil mangkuk berisikan es dawet di dalam kulkas, aku menghampiri Lora yang sedang berbaring di sofa ruang tv sambil bermain gadget. Kalau punya kekasih gitu ya, setiap waktunya tidak pernah lepas dari gadget.
Aku duduk di sofa single, bersebelahan dengan Lora. Dengan khidmat, aku mulai mencicipi es dawet buatan Lora. Ketika air es dawet ini menghampiri lidah dan kerongkonganku, kepalaku mengangguk-angguk. Sepertinya tangan Lora itu memang ada kekuatan magisnya. Apapun yang dimasak atau dibuat olehnya pasti akan terasa sangat enak.
Minuman ini enak dan manis, tapi aku ingin yang lebih manis lagi. Jadi, kutatap saja Lora yang sedang bermain gadget.
Matanya bagus, hitam segelap malam. Bibirnya tipis tapi kalau tersenyum akan manis. Hidungnya tidak terlalu mancung, tapi juga tidak pesek. Bentuk wajahnya agak bulat, tapi bukan berarti chubby. Ya ampun, lama-lama kumakan juga perempuan itu.
"Kenapa kamu ngelihatin aku?"
Tanpa menoleh, aku tetap menikmati es dawet dengan menatap Lora tanpa putus.
"Heh, kenapa kamu ngelihatin aku terus? Mau aku colok mata kamu, ha?!"
Mataku mengerjap, masih tetap menatap Lora. Ingin kuukir dengan jelas bagaimana bentuk wajah Lora di dalam benakku, agar kelak jika aku merindukannya, aku tinggal memejamkan mata dan mencari memori tentang bentuk rupa Elora.
Karena aku hanya bergeming, Lora melempari aku dengan bantal sofa. "Jangan ngelihatin aku terus!"
Aku mengambil bantal sofa yang tadi mengenaiku, untung saja mangkuk dawetnya tidak jatuh.
"Kenapa, sih? Kata kamu tadi kalau kurang manis suruh ngelihatin kamu, ya ini sedang aku lakukan. Kok malah marah-marah."
Perempuan itu berdiri dari duduknya, dia mencibir. "Idih! Dasar sinting. Berhenti menatapku!"
Setelah itu Lora beranjak dari ruang tv dan pergi meninggalkan aku dengan kesal.
Huh, gimana sih, tadi katanya suruh ngelihatin kalau kurang manis, pas sudah dilihatin malah marah-marah, malah aku yang kena semprot. Kalau grogi karena aku lihatin mah tinggal bilang saja, tidak perlu marah-marah. Dasar plin-plan. Tapi-aku-suka-sih.
$$
-E-
Setelah selesai Skype-an dengan Bunda, aku menutup laptop dengan kecewa. Bunda tadi bilang kalau tidak jadi pulang dua minggu lagi, karena masalah yang ada di Bengaluru itu belum selesai. Ayah belum mau pulang kalau masalah perusahaannya belum beres. Sebenarnya aku ingin protes ke Bunda soal kemunduran pulangnya, karena aku sudah merindukan kehadiran Bunda. Hmm, tapi yasudahlah.
Karena tidak ingin berlama-lama di kamar, aku keluar untuk mencari Nadine. Setidaknya masih ada istri kedua Ayah yang bisa menemani hari-hariku selama Bunda tidak ada di rumah, jadi aku tidak sepenuhnya sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soulemetry
RomanceNadine tidak pernah berpikir kalau akan menjadi istri kedua. Menikah dengan laki-laki saja tidak pernah terpikirkan olehnya, apalagi memikirkan tentang menjadi istri kedua. Nadine tidak pernah bersungguh-sungguh mencintai suaminya, karena dia menik...