14. Destiny

6.5K 729 26
                                    

-E-

Bunda adalah perempuan paling tabah yang pernah aku tahu. Kelak jika aku sudah menjadi seorang istri atau bahkan seorang ibu, aku ingin sekali memiliki hati seluas samudera seperti hati Bunda.

Dari luar, Bunda memang terlihat baik-baik saja, selalu tersenyum ramah, selalu tertawa. Padahal, jika diperhatikan lagi, manik mata itu jelas mengatakan semuanya. Bunda tersakiti, tetapi mencoba untuk menutupi.

Kalau mengingat rintihan Bunda, hatiku selalu tersayat. Kalau mengingat air mata Bunda yang membasahi pipinya, hatiku selalu menjerit. Kenapa sih Bunda harus mengalami ini semua?

Memang Bunda tidak pernah memperlihatkan secara langsung tangisannya padaku. Namun, ketika malam menjelang, aku selalu melihat Bunda bersujud di atas sajadah, memanjatkan doa dan mengadu pada Sang Khalik. Bunda menangis dalam doanya. Di hadapan Sang Pencipta, Bunda terlihat sangat rapuh.

Aku tidak kuasa untuk tidak ikut menangis ketika mendengar curahan hati Bunda dalam doanya. Bunda orang yang baik, tetapi kenapa orang yang baik selalu mendapatkan cobaan yang berat?

Mengapa Ayah harus berpoligami? Tidak sadarkah Ayah telah melukai hati Bunda? Tidak sadarkah Ayah telah mengubah Bunda yang periang menjadi pemurung? Tidak sadarkah Ayah kalau Bunda telah berubah?

Sosok Bunda yang sekarang bukanlah sosok Bunda yang aku kenal dulu. Perbuatan Ayah telah merenggut kebahagiaan Bunda.

Semenjak saat itu, aku mulai membenci Ayah dan istri keduanya.

Aku tahu istri kedua Ayah tidak seratus persen salah, yang salah itu Ayah. Seharusnya Ayah tidak bermain di belakang Bunda seperti ini. Meskipun aku tidak mengetahui alasan pastinya kenapa Ayah menikah lagi, tetapi apapun alasannya, aku tetap akan membencinya. Sekali salah tetap salah.

Aku tidak tahu sampai kapan Bunda bisa bertahan dengan Ayah. Aku hanya bisa selalu berharap agar Bunda mau menggugat cerai Ayah.

$$

"Bunda kenapa sih masih mau bertahan dengan Ayah?"

"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Aku penasaran."

Saat ini, aku sedang berbaring di pangkuan Bunda sambil melihat langit-langit sore. Dulu sewaktu aku masih duduk di bangku SMA, aku suka menghabiskan waktu soreku dengan Bunda di gazebo halaman belakang ini.

Tetapi setelah aku masuk ke dunia perkuliahan, dan Bunda mulai sibuk dengan Firma Hukumnya kebiasaan yang kami lakukan itu menghilang dengan sendirinya. Kami disibukan dengan kegiatan masing-masing.

Karena hari ini aku merindukan momen itu, maka aku sengaja meminta Bunda untuk pulang lebih awal. Aku ingin mengobrol dengan Bunda sambil menikmati langit sore.

"Kenapa Bunda masih mau bertahan dengan Ayah?"

Bunda mengusap-usap kepalaku, menatapku dengan tatapan teduhnya.

"Karena Bunda mencintai Ayahmu."

Ya, aku sangat paham kalau Bunda terlalu mencintai Ayah. Tapi sayangnya, Ayah terlalu bodoh. Aku masih tidak habis pikir, bisa-bisanya Ayah melakukan poligami. Ayah tertarik menjadi Nabi?

"Hmm, klasik. Setelah Bunda dimadu, Bunda masih bisa mencintai Ayah?"

Aku menatap Bunda, perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu tersenyum.

"Kenapa tidak?"

Bunda, Bunda. Aku juga tidak habis pikir dengan Bunda. Kenapa sih? Kenapa sih? Kenapa sih?

"Ternyata cinta itu memang bisa membuat orang menjadi buta ya, Bun? Kenapa Bunda tidak mau berpikir realistis? Sampai kapan Bunda akan bertahan dengan Ayah? Yakin Bunda masih kuat kalau melihat Ayah membagi hatinya dengan istri kedua?"

SoulemetryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang