"Heh, pelakor. Jangan sekali-kali kamu mengambil makananku!"
Kupikir semua orang sudah terlelap, karena ini sudah memasuki tengah malam. Aku yang merasa lapar dan tidak bisa tidur memutuskan untuk mencari makanan di dapur.
Tidak kusangka keinginanku untuk memakan pop mie dengan tenang harus diganggu oleh kehadiran Lora. Ah, sebenarnya tidak terlalu menganggu sih. Aku malah bersyukur bisa melihatnya lagi.
"Oh, maksudmu pop mie ini adalah hak milikmu?"
"Iya. Jangan sekali-kali kamu mengambil makananku. Semua makanan, minuman yang ada di kulkas, dan di lemari penyimpanan, setengahnya adalah milikku."
"Oh, oke, akan aku ingat perkataanmu. Pop mie yang ini harus aku kembaliin ke kamu atau boleh aku habiskan?"
Aku mengangkat gelas pop mie yang masih berisi seperempat. Menunggu keputusan Lora. Aku harap dia memperbolehkan aku menghabiskan pop mie ini.
"Jangan bersikap sok ramah! Dasar pelakor!"
Oke, aku anggap jawaban itu sebagai 'boleh'.
Wah, ini adalah percakapan terpanjang diantara aku dan Lora. Meskipun Lora selalu menatapku dengan tatapan sinisnya, tapi aku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Malah sebenarnya yang masalah itu adalah telingaku. Aku merasa sangat terganggu ketika mendengar panggilan 'pelakor' itu disematkan padaku. Please, aku bukan pelakor. Aku bukan penikmat terong. Hhh.
Setelah mengambil botol berisikan air putih di kulkas, Lora berjalan kearah sofa yang ada di ruang tv. Karena aku masih ingin berbicara dengan perempuan itu, jadi aku mengikutinya dari belakang.
"Kenapa kamu belum tidur? Ada yang mengusik malammu?"
Aku duduk di sofa single yang bersebelahan dengan sofa panjang yang diduduki oleh Lora. Perempuan itu kembali menghiraukan kehadiranku. Dia fokus dengan tontonannya di televisi.
"Oke, kalau kamu tidak ingin berbicara denganku. No problem."
Sembari menghabiskan pop mie, aku memperhatikan wajah Lora yang terkena paparan sinar televisi. Lampu utama di ruang tv ini dimatikan, hanya lampu-lampu kuning ber-watt kecil dan sinar dari televisi yang menerangi kami.
Di tengah ruangan yang remang-remang seperti ini, wajah manis Lora masih terpancarkan. Perempuan itu benar-benar memiliki wajah yang tidak membosankan.
"Berapa umurmu, anak perempuannya Mbak Alya?"
Lora masih diam, dia masih fokus memperhatikan acara malam yang disiarkan televisi. Aku tidak terlalu suka menonton televisi, jadinya aku tidak terlalu memperhatikan tontonan Lora.
"Sebaiknya aku manggil kamu apa? Nak? Dek? Atau?"
Terdengar helaan nafas dari perempuan itu. Kini dia menatap kearahku dengan tatapan yang sepenuhnya sinis.
"Nggak usah sok asik."
Aku menaruh wadah pop mie yang sudah habis ke atas meja di depanku. Tersenyum, mencoba untuk tetap tenang. Dasar nenek lampir. Membuat aku naik pitam saja.
"Oke, oke, baik. Aku tidak akan bersikap sok asik. Semua terserah padamu saja, anak kecil."
"Apa? Kamu panggil aku apa?"
"Anak kecil. Kenapa? Tidak terima? Tidak suka? Atau mau aku panggil Nenek Lampir?"
Lora tertawa sinis, tawa yang merendahkan. Dia menatapku dengan tatapan yang lebih menyeramkan dari sebelum-sebelumnya. Perempuan itu seperti ingin menelanku hidup-hidup.
"Jangan panggil aku anak kecil. Namaku Lora. LORA! Paham?!"
Tertawa, hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Lucu sekali perempuan ini. Dia menyebalkan sekaligus lucu. Membuat aku naik darah tapi juga membuat perutku sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soulemetry
RomanceNadine tidak pernah berpikir kalau akan menjadi istri kedua. Menikah dengan laki-laki saja tidak pernah terpikirkan olehnya, apalagi memikirkan tentang menjadi istri kedua. Nadine tidak pernah bersungguh-sungguh mencintai suaminya, karena dia menik...