3. Rumah Sakit

2.1K 123 5
                                    

Dalam sepi, Sandara memainkan tangannya dengan kuas. Warna yang ia tahu sekarang hanyalah hitam. Tak seindah warna dahulu yang pernah menghiasi kanvas putih miliknya. Tak ada kenangan indah lagi yang tersimpan oleh Sandara. Hatinya masih terus membeku, belum kunjung mencair saat ini. Datanglah seorang yang begitu sayang padanya dari lahir, saat ini, dan seterusnya.

"Sandara, kamu gak kuliah?" tanya Bu Dian, ibunda Sandara.

"Dara libur bu." Matanya masih terfokus pada kanvas.

"Sekarang udah jam delapan pagi, apa kamu gak mau ketemu sama Eresa?"

Bu Dian seketika membuat Sandara menghentikan tangannya yang tengah berkutik dengan warna hitam itu.

"Oh iya bu. Kalau gitu, Dara mau pergi deh bu." Sandara menyalami tangan kanan sang bunda sebelum ia pergi meninggalkan rumah untuk menjenguk Eresa.

Dirinya tengah berdiri di depan rumah sakit besar. Dilangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam. Matanya memencar mencari ruangan. Dibuka salah satu pintu ruangan bernama 'kamar mawar 02'.

"Eresa, kakak datang bawain kamu coklat," ucapnya dengan menatap seorang gadis kecil yang tengah tertidur di ranjang rumah sakit.

"Kak Dara? Eresa udah lama nunggu kakak tau." Gadis itu mengerucutkan mulutnya. Namun, hatinya begitu senang karena kedatangan Dara.

Eresa adalah keponakan Sandara. Ia terserang penyakit kanker di usia 6 tahun. Begitu miris memang mendengarnya. Orangtua Eresa tengah sibuk bekerja mencari uang untuk bisa mengumpulkan dana penyembuhan anaknya. Eresa setiap hari sendiri dengan beberapa suster yang menemaninya di rumah sakit. Sandara adalah orang yang begitu ditunggunya setiap hari. Dia bagai kakak bagi Eresa.

"Kamu udah punya coklat? Dari siapa?"

"Tadi ada seorang kakak yang bagi ini buat Eresa. Dia nemenin adiknya yang lagi sakit di samping Eresa itu loh kak."

Terbuka pintu ruangan dengan keras. Seorang laki-laki terengah-engah berlari memasuki ruangan. Ruangan mawar terisi oleh dua orang anak pengidap kanker, Eresa dan satu anak yang lain. Ia baru dua hari dirawat di sana.

"Bagus, kamu udah tidur?"

Sapaan itu terdengar dari ranjang sebelah Eresa.

"Kakak, kenapa lama? Aku kan mau makan coklat. Kakak kenapa baru datang sekarang?" Anak laki-laki itu mengerucutkan mulutnya. Ia sudah jengkel karena menunggu sang kakak yang telat untuk membawakannya sebuah coklat.

"Maafin kakak. Kakak tadi kerja dulu. Nih buat kamu. Jangan banyak-banyak ya, nanti gigi kamu sakit." Senyuman laki-laki itu membuat Dara juga Eresa memperhatikannya sedari tadi.

Sandara tersadar dan segera membuang pandangannya dari laki-laki itu. Laki-laki itu menoleh kuat pada Sandara dan Eresa. Selama ia di rumah sakit, ia belum pernah melihat seorang wanita muda yang berdiri di sebelah ranjang Eresa. Laki-laki itu pun belum sempat berkenalan dengan anak yang memiliki nasib sama seperti adiknya. Ia tahu, bahwa wanita muda yang bersama gadis kecil itu sedari tadi memperhatikannya. Ditatap lama oleh lelaki itu, seorang gadis berambut panjang yang tengah mengobrol dengan gadis kecil dihadapannya. Dirinya lantas melangkah ke ranjang sebelah adiknya terbaring.

"Hai. Nama kakak Afta. Cantik, kamu mau kan jadi temannya Bagus? Dia adik kakak. Ini coklat buat kamu." Afta menyodorkan coklat pada Eresa sekaligus memperkenalkan dirinya dan adiknya yang baru dua hari berada di rumah sakit.

"Dia yang kasih kamu coklat?" Dara meminta jawaban pada Eresa.

"Emm bukan, bukan kakak ini."

"Oh, mungkin itu teman kakak, dia sering ke sini bagi-bagi coklat." Afta tersenyum menatapi Eresa.

"Kak Afta, kakak baik banget sama Bagus. Nama aku Eresa."

Jabatan tangan Eresa dan laki-laki itu membuat Dara terdiam. Pasalnya, ia masih belum bisa bersikap baik di depan seorang laki-laki setelah hari buruknya itu. Bahkan rasa jengkelnya pada seorang laki-laki, selalu berbekas di hatinya.

"Hai, gue Afta." Afta menyodorkan tangannya depan Dara.

"Eresa, kamu dapat coklat dari laki-laki ini?" tanya Dara sekali lagi membuat Eresa menggelengkan cepat kepalanya.

"Lain kali, jangan nerima apapun dari orang yang kamu gak kenal."

"Tapi dia bilang dia kenal sama kak Dara." Eresa yang begitu polos, membuat Dara bingung. Lagipula, siapa orang yang mengenalnya lebih baik selain ibunya sendiri? Dara juga tak pernah mengajak siapapun ke rumah sakit sebelumnya.

Afta terdiam saat Dara mengabaikannya. Dengan dahi dikerutkan, Afta menatap tajam Sandara.

"Gue Afta!"

"Gue gak tuli!"

"Ouh, Oke." Afta mengerutkan dahinya sekaligus menarik kembali tangannya yang menjulur. Niatnya untuk berjabat tangan dengan Dara, nyatanya sia-sia setelah ia di respon jutek oleh gadis itu.

"Eresa cantik, karena kamu udah kenal kakak. Kamu mau kan nerima coklat dari kakak?"

"Iya kak, makasih banyak."

"Tolong bilangin kakak kamu, suruh dia tersenyum. Kamu pasti gak enak kan liat wajahnya gitu terus." Ucapan Afta menyinggung Dara.

"Dia bukan kakak Eresa. Dia Bibi Eresa," jawab gadis kecil itu membuat Afta melebarkan matanya terkejut. Laki-laki itu perlahan terkekeh karena jawaban Eresa.

"Semuda ini udah jadi bibi?" Afta masih terus merasa geli mendengar kata bibi yang Eresa sematkan pada Dara.

Tatapan tajam mengarah pada mata Afta, membuat Afta dengan sergap menghentikan tawanya. Kedua anak kecil penderita kanker itu saling melambaikan tangan, tersenyum sumringah saling menyapa.



Voment🙏thx
Apresiasi kalian adalah semangat Author. Hanya satu vote tak membuat kalian rugi kan? 😅

UNTITLED, 2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang