Dara nyekar ke makam Ayahnya, dengan membawa seikat bunga mawar, Dara mulai menaruhnya di atas pusara sang Ayah.
"Ayah, apa kabar? Ayah tau skenario apa yang lagi melanda hidup Dara saat ini? Selama ini, Dara belum pernah merasakan rasanya diperhatikan orang. Kenapa harus ada orang baik disaat orang jahat berusaha merusak diri kita Ayah? Dara gak tau harus apa, Dara butuh Ayah," ucapnya sendu dengan terus mengalirkan air mata. Tangan lembutnya terus mengusap nisan Ayah tercinta.
Dara memasuki mobil hendak pergi ke museum Barli. Ini adalah hari pertama karyanya akan dipajang di Museum Barli, Bandung. Sampai di Museum, Dara juga Hendri yang memenangkan pameran kampus, lantas disambut pihak Museum untuk memajang karya dengan tangannya sendiri. Tepukan tangan berhasil Dara dapatkan walaupun hari itu adalah hari yang sungguh membuatnya bingung. Mendengar orang bertepuk tangan serasa berada di sebuah mimbar kepresidenan baginya. Ini memang asing namun hatinya merasa senang. Piagam Dara dapatkan, terlihat wajah yang sumringah di wajah Dara. Dirinya sekarang menjadi seniman kebanggan kampus Warnabaru. Padahal kemarin ia hanya seorang psikopat, seperti yang banyak orang bilang.
"Hei!" Sapaan laki-laki dari belakang tempat ia berdiri membuatnya menoleh.
"Dua porsi steak, 2 porsi pasta fettucine, satu porsi iga bakar, plus Thai tea-nya 2 deh."
Ya, dia Afta, si kekar beralis tebal yang selalu tersenyum di penglihatan Dara.
"Lo? Maksudnya?""Dara ... setiap kesuksesan seseorang pasti ada orang lain di balik itu semua. Entah support, bantuan, atau lainnya." Yumi tiba-tiba datang ke hadapan Dara.
"Yumi." Dara senyum.
"Lo ngerti kan maksud dia?"
Sampailah mereka di sebuah restoran. Semua meja sudah penuh dengan menu yang Afta pesan. Kali ini Dara benar-benar mengeluarkan banyak uangnya hanya untuk satu laki-laki asing yang setidaknya sekarang membuat harinya terbilang begitu aneh.
"Lo tau, hidup itu gak selamanya buruk. Coba lo makan apa yang lo suka, itu udah termasuk kebahagiaan," ucap Afta seraya terus memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
"Etika makan itu gak boleh bicara." Dara membuat Yumi malah terkekeh memperhatikan mereka berdua.
Serasa telah selesai, Dara menuju meja kasir untuk menyelesaikan transaksi.
"Yumi, lo kan tau semua tentang Dara. Sebenarnya si Dara itu orangnya gimana sih?" bisik Afta. Matanya terus mengawasi Dara dari kejauhan.
"Jangan-jangan lo mulai naksir sama Dara?" Tunjukkan telunjuk Yumi tepat di depan wajah Afta membuatnya seketika blushing.
"Hah? Nggak, gue cuma mau tau aja," jawabnya canggung bersamaan dengan senyum.
"Mana ponsel lo?"
"Apa? Ponsel gue? Buat apa?"
"Udah sini," sahut Yumi lantas mengambil paksa ponsel Afta dari tangan kekarnya.
"Nih, kalau lo mau tau lebih banyak tentang cewek itu, lo bisa kontek gue." Yumi senyum lantas menghampiri Dara.
Afta menatap monitor ponselnya lama. Ekspresinya mulai datar.
"Kenapa gue jadi akrab sama mereka ya?" Afta heran bersambung senyum.
••
Malam tiba, chat dari Afta mengawali perbincangan onlinenya dengan Yumi. Mata Afta mulai melebar kala membaca satu pesan yang memang membuat dirinya begitu terkejut. Ia mengerutkan dahinya datar.
"Jadi, itu kisah Dara sebenarnya? Semuanya bukan hanya berawal dari sakit hati, namun kehilangan orang yang paling penting di hidupnya buat dia berubah," gumamnya.
Afta menatap atap langit kamarnya setelah menelpon suster Bagus. Afta lantas merebahkan dirinya di kasur yang begitu empuk.
"Gue sama Bagus, orangtua kami masih komplit, sedangkan cewek itu ... kenapa masalahnya banyak banget, dari mulai dia kecelakaan, ayahnya meninggal, dan sekarang dikhianatin sama laki-laki yang dia cinta. Bodoh, laki-laki mana yang bisa nyakitin cewek semanis Dara," gumam Afta dengan memasang pose tangan yang menjadi bantal untuk kepalanya kala itu.
"Barusan gue bilang dia manis? Hah? Kapan gue ngomongnya? Kok gue gak sadar. Ih kok gini ya?" Afta bermonolog aneh.
••
Rumah sakit begitu sunyi, terlihat anak laki-laki juga perempuan tengah menatap surya pagi bersama di balik kaca jendela yang besar juga begitu bening.
"Bagus, apa rencana hidup kamu setelah kamu sembuh?" tanya Eresa.
"Bagus mau terus di samping kakak, karena selama ini kakak udah jadi orangtua buat Bagus. Tapi kalau Bagus gak bisa sembuh, Bagus takut kakak sendirian." Bagus menatap sunrise di hadapannya dengan sendu.
"Bagus gak boleh ngomong gitu, kata ibu aku ... kita harus kuat, kita harus semangat," timpal Eresa.
"Di mana kak Dara?" tanya Bagus.
Seketika pintu ruangan terbuka, terlihat wajah sumringah dari wajah Dara.
"Hai, kakak dateng!"
"Kak Dara." Eresa lantas memeluk Dara erat.
"Hai Bagus, kak Afta belum ke sini?"
Bagus menggelengkan kepalanya pelan.
"Eresa, kakak bawain kamu gula-gula. Cepet kamu makan di sana, biar ini kakak mau bagi sama Bagus."
Bagus melangkahnya kakinya tenang menunju kaca jendela besar. Ia menyentuh kaca itu perlahan. Dara menatap heran Bagus yang sedari tadi memang terlihat begitu murung.
"Bagus, kamu kenapa?" Dara berjongkok di sampingnya.
"Kak Dara ..." lirihnya.
"Iya sayang, kenapa?"
"Kakak mau kan jadi temannya kak Afta?" Pertanyaan Bagus membuat Dara semakin bingung.
"Maksud kamu?"
"Kakak selama ini selalu ngurusin Bagus. Dia gak punya waktu buat main sama teman, ataupun cari teman di luar sana. Bagus takut, kalau nanti kakak sendirian." Ucapan Bagus membuat Dara tertegun kaget. Bagus bahkan memikirkan kakaknya walau dirinya sedang sakit parah seperti itu.
"Bagus gak boleh ngomong kayak gitu. Bagaimanapun, kakak kamu itu akan tetap di samping kamu. Dia gak bakalan sendiri, kamu bakalan kembali sehat bisa main sama kak Afta, bisa bercanda, minta mainan baru sama kak Afta, bisa jalan-jalan sama kak Afta," ucap Dara seraya mengusap lembut anak kecil di hadapannya.
"Kalau semua itu terjadi, apa kak Dara mau ikut kami? Main, jalan-jalan, terus beli mainan?" Bagus senyum membuat Dara merasa canggung.
Terlihat seorang pria tengah berdiri di belakang mereka, menguping semua pembicaraan mereka membuat Afta berkaca. Dirinya lantas mengbuang napas sendu dan kembali memasang wajah sumringahnya depan Bagus.
"Kakak!"
"Hei, beraninya kamu deketin perempuan? Kakak gak ngajarin kayak gitu," ledek Afta.
"Kakak, kak Dara bilang ... kak Dara bakalan ikut kita jalan-jalan." Ucapan Bagus membuat Dara melotot.
"Beneran? Wah senangnya ya." Afta melirik Dara yang kebingungan.
"Kak Dara yang cantik, tolong ikutin permintaan Bagus ya kali ini. Kita jalan-jalan bareng sama Eresa. Bagus mau ke pantai."
"Tapi Bagus, Dokter pasti melarang."
"Kenapa saya harus melarang? Saya izinin kalian bawa Bagus untuk jalan-jalan, asal Bagus harus minum tepat obatnya, pakai baju yang tebal yah," ucap Dokter membuat mereka menoleh cepat.
"Yeyeyey, Eresa ... kita mau jalan-jalan. Hore, hore." Bagus terlihat begitu senang.
"Yeyyyyyyyy, asik jalan-jalan."
Voment🙏thx
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTITLED, 2017
Teen FictionPutusnya hubungan yang ia jalin bersama laki-laki yang dicintainya, memutuskan Sandara untuk tidak jatuh cinta lagi pada siapapun. Ucapannya yang gegabah, justru mendatangkan karma tersendiri baginya. Kira-kira, karma seperti apa yang ia dapat? "Apa...