Seorang gadis berjalan melalui koridor kampus. Suara sepatu oxfordsnya terdengar di telinga seorang Afta.
"Nasib buruk gue selalu ketemu sama dia yang gak pernah gue kenal tapi dia sok kenal," batin Dara jengkel karena ia mengetahui pasti Afta akan menghampirinya.
"Lo mau ikut gak?"
"Gak, dan gak akan pernah," jawab Dara sinis.
"Lo yakin? Gue belum selesai bicara. Hemm tapi ya udah deh. Padahal kan gue mah ngajak lo ke pameran lukisan Bandung, karya yang kepilih bisa dipajang di Museum Barli." Afta melirik Dara yang sedari tadi mengabaikannya dengan wajah masam ciri khas seorang Dara.
Afta hendak melangkah, namun Dara mengeluarkan suaranya.
"Apa lo bilang? Pameran lukisan? Museum Barli?" Dara canggung sendiri.
Tak pernah disangka, saat itu Dara pun ikut melangkah bersama Afta. Afta tahu, bahwa gadis aneh itu sangat menyukai seni lukis. Lukisan yang ia buat selalu mendapat respon baik dari mata Afta. Rasa penasarannya terhadap gadis itu kian muncul. Dan kebahagiaan bertambah ketika Dara tak canggung lagi dengannya yang Dara sebut adalah orang asing. Afta merasa sudah berhasil membobol tembok pertahanan dingin yang Dara sematkan pada dirinya selama ini. Dara pun mengakui, ia memiliki impian yang sangat besar. Dan perkataan Afta itu, membuat dirinya begitu antusias seketika. Walaupun pada dasarnya, mereka tak pernah saling mengenal sebelumnya. Dara pun selalu jengkel sesekali jika bertemu Afta. Sungguh, Dara pun aneh ketika ia malah memberi respon pada laki-laki pecicilan itu.
"Museum Barli adalah mimpi saat ini. Sungguh, gue seneng banget denger berita ini," batin Dara.
Mereka mulai menuju ruangan seni, dimana terdapat beberapa kanvas juga kuas tertera dalam ruangan itu. Mereka berada di jurusan yang sama, yaitu seni. Karenanya, mereka sangat menyukai karya seni apapun bentuknya. Tapi lebih dari itu, Dara sangat menyukai seni lukis. Menurutnya, melukis mampu menghilangkan segala beban.
"Gue denger lo ngelukis cuma pake warna hitam, putih juga abu ya? Kenapa lo gak coba warna lain?"
Dara bergeming mendengar pertanyaan Afta. Dirinya seakan trauma dengan sebuah warna, termasuk warna yang terdapat dalam pelangi. Matanya terfokus pada sebuah kuas. Hal itu membuat Afta bingung sendiri melihat tingkah Dara. Tangan Dara mulai bergetar saat ia mengoleskan kuasnya pada warna merah. Mata Afta melebar kaget. Ia lantas berdiri dari duduknya yang tenang. Sebuah raut wajah ketakutan ia lihat dari wajah Dara yang sungguh memperlihatkan keanehan. Afta mulai melangkah perlahan menghampirinya. Matanya masih menyurang tajam ke arah Dara yang rasanya sulit mengoleskan warna merah itu di kanvasnya.
"Kenapa dia?" batin Afta. Ia masih menatap bingung Sandara.
Dara melepaskan kuasnya tiba-tiba. Matanya mulai berkaca aneh. Ia tertunduk sendu membuat Afta seketika menjadi panik. Bahkan Afta tak tahu apa yang telah terjadi pada Dara saat itu.
"Lo ... lo gak apa-apa?"
"Gue gak bisa!" jawabnya lirih dengan mengacak rambut lurusnya kasar.
"Sebenarnya, karena apa orang menyebut Dara aneh? Lebih parah lagi mereka berasumsi bahwa Dara psikopat? Gue rasa dia cuma punya trauma," batin Afta. Ia menatap penuh wajah Dara yang sudah banyak berkeringat..
"Coba, kalau kayak gini gimana lukisan lo dipajang di Museum Barli?"
Tangan kekar Afta mulai menjamahi tangan mungil milik Dara. Pupil mata Dara melebar kaget karena sentuhan tiba-tiba itu. Tangan Afta seketika mulai menjatuhkan kuas pada warna merah, bersamaan dengan tangan Dara yang sedang digenggamnya. Afta mencoba mengajak tangan Dara mengoles kanvas di depannya dan terbentuklah sebuah gambar love.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTITLED, 2017
Teen FictionPutusnya hubungan yang ia jalin bersama laki-laki yang dicintainya, memutuskan Sandara untuk tidak jatuh cinta lagi pada siapapun. Ucapannya yang gegabah, justru mendatangkan karma tersendiri baginya. Kira-kira, karma seperti apa yang ia dapat? "Apa...