Sangat sunyi tempat yang Dara benci, rumah sakit yang penuh dengan orang terluka. Dara menuju ranjang suaminya terbaring dengan lemah, monitor pasien yang berdetik terus menyakiti pendengarannya. Cairan yang menetes dari selang infus, sedikit demi sedikit terlihat miris dilihat matanya.
"Afta, aku minta maaf. Aku minta maaf buat segala hal yang aku lakuin sama kamu, yang menurut kamu memang salah, memang gak baik atau apapun. Aku selalu nyakitin kamu di saat apapun, aku selalu menyangkal apapun perkataan kamu. Aku mohon bangun, kasih aku maaf Afta. Aku sayang sama kamu, bahkan sekarang melebihi diri aku sendiri. Cukup Gevan, cukup Gevan aja ninggalin aku, aku gak mau sendirian Afta, aku mohon bangun." Tangan Dara yang hangat mulai menggenggam tangan Afta yang begitu pucat.
Pak Doni maupun Bu Resa harus haru melihat penampakan tersebut. Bagus mengalami drop 2 hari setelah Afta kecelakaan. Dan kini, Affta masih belum tersadar.
Bagus ditemani Bu Resa yang terlihat beberapa kali check-up kondisi Bagus yang sempat down.
"Ma?" lirihan Bagus terdengar sendu di telinga Bu Resa.
"Bagus, percaya kak Afta akan baik-baik aja. Mungkin saat ini walaupun matanya ke tutup, dia sebenarnya khawatir sama kamu."
"Mama gak bohong kan sama Bagus? Bagus tau kakAfta lagi kesakitan kan Ma? Sakit kak Afta melebihi Bagus kan Ma?"
"Bagus, kakak kamu itu orang yang kuat. Kamu tau dia kan hero yang selama ini selalu ada buat kamu."
Bagus tertunduk beberapa saat. Begitu berat bagi dirinya untuk melihat kakaknya terbaring lemah. Kakak yang selama ini selalu peduli padanya. Bahkan, layaknya orangtua kedua bagi Bagus. Bocah itu terus tertunduk sendu.
"Bagus mau sehat demi liat kakak bangun lagi Ma." Ucapan Bagus membuat Bu Resa berkaca. Ia terus menahan tangisnya di depan Bagus.
"Kamu emang anak yang pintar nak. Bagus kuat, Bagus harus kuat demi kak Afta, Bagus mau janji sama Mama?" Jari kelingking Bu Resa mulai mendekati Bagus. Dengan sergap Bagus mengaitkan jari sang Mama dengan jari mungil miliknya.
"Jadi, kamu harus istirahat. Kak Dara terus jagain kak Afta kok. Kamu gak usah takut. Biar Mama yang nemenin kamu di sini, Ok?"
Anggukan Bagus sungguh membuat Bu Resa begitu tenang. Sesak yang ia alami selalu tertahan demi melihat anak-anaknya tersenyum kembali.
Yumi, Mark juga Reno datang membawakan Dara makanan. Dua hari terakhir, Dara tak mengontrol asupan gizi untuk tubuhnya. Ia menolak untuk makan. Hanya meminum beberapa gelas air putih semenjak Afta kecelakaan.
"Dara, lo harus makan. Lo harus sehat demi Afta." Yumi begitu prihatin.
"Jika lo percaya kekuatan cintanya Afta, lo gak harus kayak gini, please. Afta emang gak bisa liat, tapi mungkin dia bisa denger." Ucapan Reno membuat Dara berpikir keras. Perlahan, tangannya mulai menjamahi makanan yang dibawa Yumi untuknya.
Dengan mata sembab dan bengkak, Dara memaksa menelan semangkuk bubur demi kelangsungan hidupnya yang ia dedikasinya untuk mengabdi pada Afta suaminya. Sekarang, ia hidup hanya untuk Afta, Afta dan Afta.
"Yumi, lo tau gak, sebelum kecelakaan, dia bersikap aneh yang buat gue bingung. Dia terus merengek minta apapun yang emang harus gue penuhin. Dia minta nemuin semua orang yang dia sayang, sampai gue sempet heran sama permintaan yang satu ini, dia ngajak gue ke pusara Gevan, padahal baru 2 minggu sebelumnya gue ke sana sama dia."
Yumi menjadi pendengar baik kala mendengar semua kesenduan Dara.
"Kita janji wisuda sama-sama, dan itu terwujud. Sebelum gue berangkat ke Bandara, dia terus ungkapin perasaannya sama gue waktu itu. Dia gak pernah ketinggalan bilang kalau dia sayang sama gue melebihi dirinya sendiri." Dara mulai menangis. Yumi segera memeluknya dengan begitu prihatin.
"Apa yang harus gue lakuin Yumi? Gue gak bisa tanpa dia, tolong bantu gue Yumi, tolong." Dara terus bergumam dengan tangisnya dipelukan Yumi sang sahabat.
Dara membawa sebuah kanvas besar ke ruangan Afta dirawat. Ia mulai melukis kembali. Melukis pemandangan di luar rumah sakit menjadi penghilang rasa khawatirnya terhadap Afta yang masih terbaring di ranjang rumah sakit dengan beberapa alat bantu pernapasan menempel di wajahnya. Kaca besar yang terlihat begitu bening menjadi bingkai untuk ia melihat beberapa burung yang berterbangan di langit dengan tingkat kecerahan yang stabil. Dara tak pernah bergeser untuk pergi dari ruangan. Ia keluar hanya untuk mandi, merapihkan diri, juga membeli beberapa cemilan. Ia juga sempat membeli beberapa minuman air kelapa yang begitu Afta sukai, walaupun Afta tak bisa melihatnya. Menaruh segelas air kelapa di atas nakas sudah membuat dirinya begitu tenang.
"Mama, gimana keadaan Bagus?"
Di sela menunggu Afta, Dara sempat mengkhawatirkan kondisi adiknya.
"Bagus mulai membaik lagi. Maafin Mama yang gak bisa nemenin Afta di sana ya Dara, Mama takut Bagus akan berpikir macam-macam."
"Gak apa-apa Ma, Dara mengerti. Dara mohon, Mama jaga kesehatan juga di sana."
"Harusnya Mama yang ngomong gini ke kamu. Makasih Dara, kamu juga jaga kesehatan yah, hubungin Mama soal kondisi Afta ya."
Sungguh miris memang mendengarnya. Dara tak pernah berpikir jika ia berada di posisi Bu Resa saat itu. Ia seorang single parents, mempunyai kedua anak yang terbaring lemah tak berdaya, mungkin saat ini adalah hati Bu Resa yang lebih tertekan. Namun ia bisa terlihat begitu kuat demi kedua putera kesayangannya.
Dara ditemani Pak Doni terduduk di ruang Dokter. Walaupun sudah berbeda keluarga, namun Ayah tetaplah Ayah, yang memiliki tanggung jawab untuk anak hingga akhir walaupun bukan dalam materi, kasih sayangnya akan terus mengalir, sangat berarti bagi seorang anak.
"Gimana Dok? Kenapa Afta sudah lima hari ini belum siuman?"
"Tak bisa disangka Pak, mungkin saya salah terka atau bisa jadi ini adalah kondisi koma. Tapi kondisinya masih sangat labil, antara stabil dan belum stabil. Banyak luka sobekan di sekitaran tubuh juga kepalanya, dan ada sedikit retakan di tulang kepala namun ini tidak terlalu serius. Kami akan terus mengontrol keadaannya selama seminggu ini. Kalau memang belum kunjung sadar, kami pastikan beliau jatuh koma. Dan pihak rumah sakit akan segera merujuk Pak Afta ke rumah sakit pusat." Ucapan Dokter menyakitkan pendengan Dara. w
Walaupun begitu, ia tetap tidak bisa mempercayai Dokter sepenuhnya, karena Dara tahu, Dokter hanya seorang manusia biasa yang bisa membantu meringankan kesakitan seseorang. Ketetapan Tuhan lah yang selalu ia percayai, jika Afta akan segera bangun untuk memeluk dirinya kembali seperti dulu."Dia pernah terluka di kepala, mungkin benturan bukan penyebab keretakan, bisa jadi ini adalah luka yang ia punya sebelum kecelakaan."
Pak Doni merasa cemas mendengarnya, matanya sedikit berkaca, melihat anak sulungnya sedang berjuang untuk hidup demi keluarga kecil yang ia punya.
"Dara, kamu gak usah khawatir. Papahsudah kenal lama Dokter Rian. Beliau bukan Dokter sembarangan, saya mohon tolong anak saya Dok."
Dokter Rian menepuk pundak Pak Doni begitu tenang.
"Tapi Pak Doni, saya tidak menjamin kalau Afta dapat siuman dengan mengingat semuanya."
"Maksud Dokter apa ya?" Dara heran.
"Karena luka yang begitu banyak di kepala, sedikit syaraf mungkin bisa saja tertekan." Ucapan Dokter membuat Dara melotot, ia segera pergi meninggalkan ruangan yang diikuti oleh Pak Doni.
"Afta! Bangun, aku gak mau kamu hilang ingatan. Aku mohon bangun!" Lagi-lagi Dara terlihat menenggelamkan wajahnya pada ranjang tempat Afta masih terbaring lemah. Beberapa hari terakhir, air mata selalu saja menghiasi wajahnya.
Voment ya gess, gak tau lagi harus ngelakuin apa. Rindu Afta gess :'(
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTITLED, 2017
Teen FictionPutusnya hubungan yang ia jalin bersama laki-laki yang dicintainya, memutuskan Sandara untuk tidak jatuh cinta lagi pada siapapun. Ucapannya yang gegabah, justru mendatangkan karma tersendiri baginya. Kira-kira, karma seperti apa yang ia dapat? "Apa...