9. Semangkuk Bubur

895 48 0
                                    

Terlihat sebuah bungkusan di atas nakas. Matanya menyipit melihat gadis yang tengah makan dengan Eresa.

"Oughh, jam berapa ini?" gumamnya seraya menatap arloji di tangannya.

Bagus terbangun, "Kakak?"

"Iya? Kamu mau minum?"

Bagus menggelengkan kepalanya lemah. "Bagus laper," lirihnya.

"Kamu tunggu aja, suster bentar lagi bawain kamu makanan."

"Bagus bosen makan itu terus." Ucapan Bagus terdengar oleh Dara.

Dara lantas menghampiri Bagus, "Kamu mau bubur?"

Bagus menganggukan kepalanya perlahan.

"Kalau gitu, makan ini. Kakak bawa 2 mangkuk, satu buat Eresa satu buat kamu." Dara memberikan bungkusan itu pada Bagus.

"Makasih kak."

"Ma .... makasih." Afta masih lemah karena baru bangun tidur. Dan ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Dara yang terbilang sangat pagi.

Krukkkkk

Suara perut yang kosong terdengar di pendengaran Dara yang tajam.

"Nih!" Dara menyodorkan semangkuk bubur juga untuk Afta. Afta tertegun kaget saat Dara berbagi padanya. Bahkan, itu tak pernah bisa dibayangkan olehnya sendiri.

"Gue gak laper."

"Suara perut lo gak bisa bohong, makan aja. Gue gak minta bayaran untuk itu." Dara membuat Afta malu sendiri. Ia tersenyum paksa dengan terus menatapi bungkusan bubur dari Dara.

Dara lantas melangkah ke ranjang milik Eresa, bercanda riang juga mengajari Eresa menggambar. Afta menatapnya bingung. Ia terus memegangi perutnya sedari tadi.

"Ah bodoamat ah, thanks ya." Afta lantas melahap bubur dari Dara. Ia tak memikirkan malu lagi saat itu.

Dara melirik Afta, menatapnya yang makan dengan lahap, dirinya terkekeh sendiri.

"Kakak ketawa?" tanya Eresa sumringah.

"Nggak!"

"Iya, kakak ketawa liat kak Afta makan kan?"

Dengan sergap, Dara lantas menutup mulut Eresa.

"Kamu jangan pernah ngomong macam-macam. Lanjutin gambarnya."

Di parkiran rumah sakit, terlihat Dara yang terus menstater mobilnya yang tak kunjung hidup.

"Kenapa sih nih mobil, gue ada kelas juga," gumamnya jengkel.

Afta keluar dengan siulan khasnya yang siapapun mendengar akan terasa nyeri di telinga. Afta menghampirinya dengan senyum seraya terkekeh halus menatapi kesusahan Dara.

"Ngapa? Mogok ya? Makannya sering-sering di servis dong."

"Bisa gak sih lo diem," ketus Dara.

"Oke oke. Gue juga gak mau buang waktu karena gue ada kelas hari ini, bye."

"Tunggu." Dara menghentikan langkah Afta membuat Afta terdiam bingung mendengar suara untuk menghentikannya.

Afta berbalik dengan senyuman lebarnya. Ya, mereka akhirnya pergi bersama dengan mobil Afta.

"Makasih tumpangannya." Dara menutup keras pintu mobil Afta.

"Heh siapa bilang ini gratis, gue beli bensin pake duit bukan pake daun."

"Perhitungan banget jadi cowok. Lo juga kan sering numpang sama gue ke rumah sakit!" ketus Dara.

"Sebagai imbalannya, jam 2 nanti dateng ke ruang seni. Gue kan udah janji bakalan masukin karya lo ke museum Barli."

Dara tertegun bingung. Ia mengerjapkan beberapa kali matanya dengan canggung.

"Tapi ...."

"Gue gak nerima penolakan." Afta lantas pergi.

••••

Laki-laki bertubuh kekar, tinggi juga jenaka itu berlarian di sekitaran koridor rumah sakit. Napasnya terengah-engah karena berlari.

"Bagus, Bagus!" Panggilannya begitu nyaring di dalam ruangan.

"Dokter, apa Bagus harus disuntik lagi? Kenapa?" Afta panik saat ia ditelepon oleh pihak rumah sakit karena kondisi Bagus yang down. Dan secepat kilat, Afta datang untuk melihat kondisi adiknya.

"Saat ini kondisinya sedang down, mungkin karena pengaruh mental anak-anak. Di usianya saat ini, dia butuh orang yang selalu bersamanya."

"Kalau gue di sini terus, masa gue ninggalin kerjaan sama kuliah gue," batin Afta. Ia tertunduk cemas karena itu. Sungguh, sulit baginya untuk membagi waktu. Dan merelakan waktu bekerja mungkin opsi terakhir baginya untuk bisa terus bersama Bagus.

"Bagus, kamu jangan takut. Kakak tau kamu pasti anak yang kuat. Kamu pernah nonton film Avengers kan? Anggap aja kamu salah satu dari mereka. Kakak bakalan sering ke sini buat kamu. Setelah pulang kerja, pulang kuliah pasti kakak sempetin buat ke sini," ucap Afta di depan wajah seorang anak laki-laki yang keringatnya sudah mengucur karena menahan sakit.

"Kakak janji?"

"Pasti, kakak janji. Kamu akan baik-baik aja. Jangan takut, ada kakak di sini."

Beberapa menit setelah melakukan penyuntikan di ruang khusus, Bagus pingsan karena efek yang ada pada obat itu.

"Dok, gimana dok? Mengapa? .... Mengapa adik saya pingsan?"

"Bagus hanya tidur sebentar, ini efek obat. Sebentar lagi dia akan pulih, biarkan dia istirahat."

••

Dara tengah melamun di halaman rumahnya, menatap burung yang tengah bertengger di pohon. Saling melengkapi satu sama lain, saling berbagi juga saling menjaga. Diambilnya kanvas berukuran kecil juga kuas yang sudah berada di tangannya. Fokusnya mulai muncul pada kedua burung itu.

Drrttttt ...... Drrrrtttt.

Fokusnya hilang ketika ponselnya bergetar kencang. Kedua burung itu pun pergi.

"Siapa sih, ganggu aja," gumamnya.

Nomor tidak dikenal masuk ke panggilannya. Tidak terdengar suara dan hanya ada kesunyian yang terdengar. Hembusan napas seorang penelpon sampai terdengar di telinga Dara.

"Halo, siapa ya?" Pertanyaan Dara berkali-kali yang tak kunjung di jawab.

"Halo, siapa ya? Kalau mau jail, saya gak takut sama anda. Gak jelas!"

Seketika Dara menutup telponnya dengan kasar. Ia selalu jengkel karena sering sekali mendapat panggilan tak dikenal di ponselnya.

Yumi datang dengan mobil berwarna merah. Sangat menyala di penglihatan Dara sampai membuat matanya terasa silau.

"Ikut gue yuk?"

"Ke mana?"

"Udah ayo, mendingan lo ganti baju lo sekarang." Yumi memaksa Dara mengikuti akhir pekannya kala itu.

Mereka pergi bersama. Terlihat gedung dengan arsitektur modern kuno ada di depannya.

"Lo ngapain ngajakin gue ke gedung sate?"

"Gue sih sebenarnya bosen udah beberapa kali ke sini terus. Tapi Mark ngajakin gue ke sini. Hebat kan?"

"Jangan bilang ini first date lo sama Mark, terus ngapain lo ngajak gue? Lo mau jadiin gue nyamuk?"

"Dara please, Mark gak keberatan kok kalau lo ikut. Dia bilang biar gue lebih nyaman aja, dia baik kan?!"

Sandara hanya menghela napasnya pasrah. Merasa tidak nyaman dengan posisinya, menemani kedua orang yang sedang kencan itu adalah posisi terburuk seseorang. Puas berkeliling, Dara hanya berjalan santai dengan mulut yang mengerucut karena terus berjalan di belakang Yumi juga Mark yang tengah asik berbincang.

"Yumi, gue izin keluar. Mark, gue titip Yumi sama lo!"

"Tapi lo mau ke mana?"

"Gue bukan anak kecil lagi, gue bakal telpon lo kok."






Voment❤thx
Isi bintang di kiri bawah geng. Terbuka ramah untuk Kritik dan Saran❤.

UNTITLED, 2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang