29. KEMATIAN!

761 39 4
                                    

Dara sedang melukis di ruang seni, wajahnya terlihat berseri dari hari-hari sebelumnya. Banyak warna yang Dara tuangkan di kanvasnya dengan senyuman terus melekat di wajahnya. Afta datang dengan ekspresi datar, dan hal itu sungguh tak biasa dari sikap Afta sebenarnya. Dara menatap Afta aneh. Tak biasanya lelaki pecicilan itu memasang ekspresi datar di hadapannya.

"Dara ...."

"Iya?"

"Besok lo ada waktu gak?"

"Mungkin jam 3 sore karena pagi gue harus ikut kelas melukis."

"Kalau gitu, gue mau kita ketemuan di deket kampus. Kita nonton film bareng gimana?"

"Film?"

"Iya, lo mau kan?" Afta terbata.

"Emmmmm, ya udah deh."

Sore hari itu seperti pelangi menghampiri Dara. Bu Dian sedari tadi memperhatikan anaknya yang tengah memilih pakaian.

"Dara?" Panggilan Bu Dian membuat Dara kaget.

"Eh ibu, ada apa bu?"

"Ini, warna yang cocok buat kamu. Seperti yang ibu bilang waktu kamu menginjak remaja, lelaki yang tulus gak melihat dari fisik, tapi hati. Apalagi, orangnya itu nak Afta, ibu rasa dia tulus." Ucapan Bu Dian membuat Dara melotot kaget.

"Dari mana ... dari mana ibu tau?"

"Feeling kuat seorang ibu itu gak ada yang menandingi."

Mereka bertemu di dekat kampus Warnabaru. Afta sudah tampannya berdiri bersandar di depan mobil putih miliknya.

"Yok!" Afta berusaha menggandeng lengan Dara untuk bisa masuk ke mobilnya.

Mereka sampai pada tahap kencan kedua mereka ini. Kali ini Dara terlihat lebih bahagia dari sebelumnya. Senyum juga tertawa yang Afta lihat membuat cintanya semakin menguat pada Dara.

Telepon berdering di ponsel Afta.

"Halo?" Mata Afta tiba-tiba melebar kala mendengar suara lewat telepon.

Matanya sedikit berkaca dan tangannya mulai tremor sendiri.

"Iya nanti gue ke sana," jawab Afta membuat Dara kebingungan.

Malam itu, tibalah mereka di depan rumah Dara setelah Afta menyetir mengantarnya pulang. Sepanjang jalan Dara terus tersenyum hingga ia turun dari mobil Afta pun Dara masih tersenyum. Hal itu sebenarnya adalah keinginan besar Afta untuk bisa melihat Dara keluar dari luka hatinya. Wajah senyum Afta menatap Dara, tiba-tiba mendengar dengan seketika. Raut wajahnya mulai kebingungan menatap dasar tanah.

"Makasih ya. Lo udah buat gue keluar dari masalalu. Tepatnya, masalalu yang nyaitin hati dan mental gue. Karena lo, sekarang gue tau caranya senyum. Tau tentang kehidupan yang sebenarnya menarik kalau dijalani. Dan ... jujur, hati gue bahagia karena semua itu Afta."

Afta terenyuh kaget ketika mendengar seluruh kalimat yang Dara keluarkan untuknya. Rasa terima kasih itu yang membawa kebahagiaan sekaligus rasa menyakitkan secara bersamaan bagi Afta.

"Lo bahagia?" tanya Afta. Matanya mendatar sayu dan penuh sanjungan menatap Dara.

"Gue bahagia," jawab Dara tanpa segan membuat Afta semakin tidak tahu ia harus melakukan apa saat itu. Harusnya, ia begitu bahagia dengan jawaban Dara. Tapi raut wajahnya serasa menyimpan tekanan yang belum diketahui alasannya.

Dara tersenyum dan ia membalikkan badannya untuk berjalan menuju rumahnya.

"Tunggu! Jangan masuk dulu."

UNTITLED, 2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang