5. Tumpangan

1.4K 96 4
                                    

Beberapa sebagian dari mahasiswa sudah mulai keluar gerbang kampus. Parkiran sore itu dipenuhi dengan mahasiswa yang hendak kembali untuk mejalani aktifitasnya di rumah setelah selesai menjalani perkuliahan. Sepuluh menit kemudian, kampus terlihat sepi. Namun, kedua gadis masih saja berkeliling di halaman kampus. Mata Dara masih setia menatap kertas bergambar abstrak yang di mata Yumi adalah hanya gambar aneh.

"Gue gak nyangka," tukas Yumi.

"Kenapa?"

"Lo mau nerima gambar yang gak jelas itu, gue malah geli liatnya."

"Lo gak tau seni, maka dari itu, lo ngomong kayak gitu. Arti gambar ini yang dibilang cowok itu, entah kenapa, itu sejalur sama kehidupan gue yang sekarang." Dara melamun lagi menatap gambar itu detail.

"Tapi dibalik itu semua, gue bersyukur banget bisa liat lo berinteraksi lagi sama laki-laki."

"Gue gak anggap dia!"

"Lah, lantas lo dari tadi anggap dia Jin? Atau goblin? Gak masuk akal deh lo, udah tahu kalian saling komunikasi."

Senja mulai datang. Inilah saat yang dibenci oleh Sandara, dimana seseorang mengatakan hal begitu tidak ingin ia dengar dulu. Di waktu seperti itulah, ia memutuskan untuk melangkah pergi dari hadapan orang itu. Saat senja, Dara selalu berlindung dalam gedung, dalam ruangan, tanpa ingin melirik senja yang begitu indah kata kebanyakan orang. Bahkan, enggan juga untuk menatapnya. Kelas seni telah berakhir, namun Dara hanya terdiam saat itu. Ia pulang jika malam sudah muncul. Entahlah. Beberapa menit ia terdiam memainkan ponselnya di dalam gedung kampus, senja akhirnya tenggelam, dan giliran malam menghampiri langit. Saat itulah, Dara keluar kampus hendak melakukan perjalanan pulang.

Lampu sudah menyala di mana-mana. Parkiran nampak sepi dan hanya mobilnya saja yang terlihat masih parkir. Pak Satpam sudah mengerti sekali hal itu. Jika ada mobil di malam hari yang belum juga pulang, itu pasti mobil Sandara. Kedua mata laki-laki tak henti berpikir seraya menatap wanita keluar dari kampus malam-malam. Ia berdiri di salah satu minimarket dekat kampus.

"Gak salah liat gue, jangan-jangan ..... gue kok merinding ya?" batinnya seraya terus menyipitkan matanya menatap wanita itu dari kejauhan.

Dihampirinya dengan rasa ketakutan juga perasaan was-was. Setengah jalan, laki-laki itu pun menepuk pundak wanita itu hingga mereka terpingkal kaget bersamaan.

"Oh shit!" Ucapan itu refleks keluar dari mulut seorang Dara.

"Ih, lo kenapa sih ganggu hidup gue terus?!" Dara menggerutu jengkel ketika ia bahkan kesal karena telah dikejutkan oleh orang asing.

"Hehe, gue ... gue gak tau kalau lo manusia. Lagi pula, mana ada mahasiswi keluar jam segini. Kelas  udah pada selesai sekitar satu jam yang lalu gue rasa."

Ya, dia Afta Mahendra. Laki-laki beralis tebal itu yang telah mengagetkan Dara.

"Sorry, nepuk pundak lo. Gue kira lo bukan manusia."

"Gue harap sih begitu," jawab Dara datar menimpalinya dengan jengkel.

"Apa? Hhhh, mana ada hantu sejutek ini? Yang ada, para hantu yang takut sama lo."

Dara berusaha mengabaikan, dan hendak masuk ke mobilnya untuk melakukan perjalanan pulang. Namun, pegangan tangan di lengannya membuat Dara tak jadi masuk. Dara melotot bingung pada Afta ketika laki-laki itu bahkan menghentikannya dengan sentuhan. Wajah Dara menekuk bingung menatap Afta. Pasalnya, baru kali ini ada laki-laki yang memegang lengannya selain Gevan. Dengan sergap, Dara menyingkirkan lengannya dari Afta.

"Don't touch me!" ketus Dara.

"Aduh, sorry lagi. Gue ... gue boleh gak minta tumpangan ke rumah sakit? Hari ini, mobil gue ada di bengkel. Gue telepon supir gue gak mau diangkat. Gue mau nemenin Bagus." Afta tanpa dosa meminta tumpangan pada Dara. Hal itu justru membuat Dara serasa salah makan. Pertama, ia bertemu dengan pria menyebalkan itu di rumah sakit. Kedua, ia bertemu orang yang sama di kampus. Dan ketiga, ia bertemu lagi, bahkan walaupun di malam hari, dengan menjengkelkan hatinya. Dara tak pernah berurusan dengan lelaki manapun selain Gevan dulu. Bertemu dengan pria pecicilan seperti Afta, sungguh membuatnya serasa salah makan. Dara kira, kertas seni yang ia ambil dari laki-laki itu layaknya kutukan. Yang membuatnya harus terus menerus bertemu dengan laki-laki menjengkelkan itu.

"Jujur aja nih cowok bikin gue risih dari kemarin," batin Dara sambil menatap aneh Afta yang serasa sedang memohon padanya untuk diberi tumpangan.

Alhasil, Dara mengiyakan permintaan nebeng dari Afta. Walaupun ia tak tahu apakah hal itu benar atau tidak yang ia lakukan. Batinnya selalu ingin mendumal. Suasana menjadi risih bagi Dara. Tanpa kata, tanpa ekspresi, hanya ada hembusan napas yang terdengar sangat pelan dari diri seorang Dara. Mata Afta terus berkeliling menatap isi mobil Dara.

"Mobil lo baru ya? Enak juga, mesinnya juga masih nyaman di denger," ucap Afta bagai angin bagi Dara yang masih sibuk menyetir.

"Oh iya, lo juga mau ke Eresa kan? Jangan kebanyakan dikasih coklat nanti giginya sakit," tambah Afta berusaha memecah keheningan. Namun sepertinya itu tidak mempan bagi Dara.

"Oh iya ....."

"Bisa gak si lo diem! Gue lagi nyetir," potong Dara di sela-sela Afta bicara.

"Oh okey." Afta hanya menghela napasnya datar. Sesekali mulutnya bersiul tidak jelas membuat Dara semakin risih terlihat.

Sampai di rumah sakit, Bagus dan Eresa terlihat tengah bermain bersama.

"Kalian?"

"Kak Dara!"

"Oh jadi nama lo Dara." Afta tersenyum.

Dara hanya memutar bola matanya malas.

"Kak, tau gak apa yang Eresa bilang. Kata Eresa, walaupun umur kita gak panjang lagi, senggaknya kita harus bahagia, harus tersenyum juga ketawa, karena Tuhan akan senang kalau kita ngelakuin hal itu. Siapa tau kita bisa tersenyum sampai dewasa nanti." Ucapan Bagus membuat Afta tertegun. Baru saja ia melangkah masuk, dirinya sudah siguhi dengan kata-kata Bagus yang membuat dirinya terenyuh.

Dara menatap sendu dua bocah kecil yang mengeluarkan kata mutiara yang begitu menyentuh hatinya. Ia terduduk sendu di samping jendela kaca, menatap alam luar lewat kaca jendela ruang rawat yang begitu bening terlihat. Matanya mulai berkaca, lantas dihapusnya dengan tangan mungil miliknya. Perkataan Bagus, membuat dirinya mengingat seorang ayah. Ayah yang selalu bisa menguatkan hatinya di setiap hari. Dan melihat kedua anak penderita kanker itu, membuat Dara semakin ingin menghargai hidup yang ia jalani saat ini. Dirinya sudah terlalu jauh untuk menolak pemberian dunia yang selama ini selalu ia pendam dalam-dalam bersama dengan luka.

Afta mengerutkan dahinya, menatap seorang gadis yang dikenalnya jutek tengah berusaha menghapus air mata. Ia menghampiri dan ikut duduk di kursi sebelah Dara. Menatap alam luar, pepohonan yang tengah menari, juga udara yang berlalu lalang.

"Kadang, orang dewasa kalah pintar sama anak kecil. Maka dari itu, kalau bisa gue mau balik lagi ke masa kecil gue. Jadi anak kecil itu menyenangkan. Gak bisa bohong, selalu jujur, punya hati yang bersih. Bagus itu anak yang gak pernah tau dunia luar. Setiap beberapa hari dia selalu tersuntik obat-obatan."

Dara bergeming menatap Afta yang sepertinya memang tengah menceritakan kehidupan sang adik padanya.

"Malamnya, dia harus ngerasain sakit. Eresa anak yang pintar ya? Dia terus semangat walaupun tau kehidupannya gak berjalan dengan baik." Afta melamun membuat Dara mulai meliriknya perlahan.

"Tapi gue gak pernah mau keliatan sedih depan Bagus. Karena pasti, ngerusak mental dia."

Afta menoleh cepat pada Dara. Gadis itu dengan cepat membuang pandangannya ke lain arah. Dirinya lantas terbangun untuk pergi ke ranjang milik Eresa. Ya, walaupun tak ada respon dari ucapan Dara, bagaimanapun Afta terlihat senang mendapat respon baik dari Dara untuk perkenalan pertama mereka. Dalam tanpa kutip, walaupun itu tak berjalan lancar sebelumnya.

Voment🙏thx

UNTITLED, 2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang