20. Dilema

719 43 2
                                    

Malam datang, kesunyian mulai menghampiri langit Bandung. Sandara di kamarnya masih saja berkutik dengan beberapa kanvas juga kuas yang memenuhi mejanya.

 Sandara di kamarnya masih saja berkutik dengan beberapa kanvas juga kuas yang memenuhi mejanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lukisan kali ini ia hanya tuangkan pada selembar kertas dokumentasinya. Seketika dirinya mengingat semua perkataan Afta. Telinganya selalu saja mendengar suara laki-laki itu. Sial, kenapa pendengarannya selalu terngiang akan suara ngebasnya yang selalu mengganggu telinga.

"Nggak!" gumam Dara menutup refleks telinganya.

Tatapannya memencar kebingungan diselingi pelipisnya sudah terlihat berkeringat.

"Nggak, nggak, nggak Dara nggak ih. Aneh ini aneh," gumamnya terus menepuk pipinya, membuat Bu Dian yang menatapnya heran.

"Dara." Panggilan Bu Dian seketika mengagetkan Dara.

"Ibu?"

"Kamu kenapa? Terus kenapa wajah kamu merah gitu nak? Kamu sakit?"

"Eh nggak bu, Dara mungkin terlalu konsen gambar jadi gini, hehe." Dara mulai canggung sendiri.

•••

Malam hari itu, Afta mengalami insomnia. Ia tak dapat tidur, hal itu menggangu seluruh pikirannya. Afta keluar dengan mengendarai mobilnya untuk sekedar menghilang mood buruknya karena tak bisa tidur. Sampai ia di lapangan basket kampus yang memang tak pernah dikunci. Malam-malam, Afta melangkah ke sana ke mari, bersamaan dengan bola basket yang ia pantulkan beberapa kali ke dasar lapangan. Beberapa kali pun ia berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Keringatnya sudah mengucur banyak. Bermain sendiri ternyata lebih melelahkan hingga menguras tenaganya malam itu.

"Huh, semoga aja balik dari sini gue langsung tidur," gumamnya.

Lampu tiang sebelah tiba-tiba mati membuat Afta terkaget-kaget. Matanya memencar merasa was-was. Ia berusaha melihat setiap sudut lapangan saat itu.

"Woy!" Suara misterius mengagetkannya.

Terlihat seorang laki-laki yang menatapnya samar seraya memegang sebuah buku di tangan kirinya. Afta melotot kaget, karena memang penerangan di sana cukup minim.

"Afta, ngapain lo di sini?" tanya Divo.

Ya, Divo adalah teman sekelas Afta.

"Divo, ngapain lo di sini cuy? Gue abis main beberapa menit," ucap Afta seraya menatap buku di tangan kiri Divo.

"Gue ke sini ... nih nyari buku adek gue yang ketinggalan. Gue sempet pinjam sama dia, eh ketinggalan di kelas, buku ini mau dipake malem ini juga buat laporan sekolahnya, mau gak mau malem-malem gini gue harus ke sini."

Mereka lantas berbincang di cafe luar kampus. Afta memang cepat akrab dengan siapapun, ya walaupun dia mahasiswa yang belum lama pindah.

"Terniat, main basket malem-malem gini di kampus. Lo gak lagi ikutan turnamen kan?"

UNTITLED, 2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang