Dua hari kemudian, mereka beraktifitas seperti biasa kembali. Di kamarnya, Afta melamun dengan tangan terus memainkan rubik. Seketika pikirannya penuh dengan gadis yang baru saja menjadi pencerah dalam keluarganya, yaitu Dara. Sebentar Afta menghela napas panjang, lalu ia buang dengan tenang. Sesekali Afta juga mendekapkan tangannya pada dada bidang, tempat letaknya jantung yang sedang bergetar.
"Setiap kali gue mikirin dia, seluruh tubuh gue rasanya lemas, gak bisa digerakin, perasaan apa ini ya?" gumam Afta seraya menatap lukisan Dara di kamarnya.
Di kampus, kali ini Afta tak henti-hentinya untuk tersenyum saat hendak melangkah ke kelas Dara.
"Yumi, Dara mana?" tanyanya dengan wajah yang sumringah.
"Lah, lo kenapa? Saat ngomong tentang Dara wajah lo blushing, aciyee," ejek Yumi.
"Noh bidadari lo noh." Yumi melihat Dara menghampirinya.
"Yumi, lo gak sama Mark?"
"Oh iya gue lupa, Mark. Kalau gitu gue pergi dulu ya."
Tiba-tiba saja Afta malah salah tingkah ketika mereka tertinggal berdua. Saat itulah jantung Afta yang tadinya tenang mulai menggebu sendiri.
"Ngapa lo?" tanya Dara aneh.
"Dar, gue ... gue cuma mau bilang terima kasih."
Dara melangkah melanjutkan perjalanannya menuju gedung seni.
"Dar, karena lo Mama gue lebih peduli sama kami. Peduli apa yang gue makan, peduli apa yang gue lakuin, peduli sama Bagus." Afta berjalan mengikuti Dara yang terus memasang wajah datarnya, berbanding terbalik dengan Afta.
"Bisa gak sih lo jangan ngikutin gue begini?" ketus Dara menghentikan langkahnya.
"Gue cuma mau bilang itu, gak lebih. Tapi ...." Afta seketika mendekatkan wajahnya pada Dara, membuat Dara begitu terkejut.
Mereka saling menatap dengan mata terbuka sempurna. Sandara hanya menatapnya aneh. Raut wajah mereka sama-sama memerah.
"Apaan sih lo ih!" ketus Dara menghindari Afta.
"Soal lukisan itu, gue minta maaf. Gue gak izin sebelum buatnya. Setiap gue suka sama seseorang, entah kenapa tangan gue gak betah buat ngelukis wajahnya." Ucapan Afta membuat Dara kaget.
Dara bergeming dengan buku terus di tangannya. m
"Baru kali ini, gue seserius ini ngelukis wajah seseorang. Asal lo tau, gue terus deket sama lo bukan karena gue kasihan. Selama ini gue ngerasa kalau kita sama, kita mikir semua orang berpihak pada orang lain. Dara, apa gue boleh izin buat suka sama lo?" Pertanyaan Afta membuat Dara melotot tajam padanya.
Sial, si tubuh kekar itu menyatakan perasaan padanya. Ini sungguh tidak masuk akal bagi Dara.
"Jangan gila, itu gak masuk akal," sahut Dara datar.
"Iya, gue udah gak masuk akal karena selama beberapa hari gue terus kebingungan akan perasaan gue. Gue tau gue asing. Gue tau lo gak mau. Gue tau kalau lo gak suka. Gue gak minta jawaban apapun dari lo Dar.Gue tau lo benci orang yang baru lo kenal, tapi entah kenapa perasaan gue aneh akhir-akhir ini kalau deket sama lo." Ucapan Afta membuat Dara terus terdiam.
"Maafin gue karena ungkapin perasaan secara tiba-tiba begini. Gue gak tau cara yang tepat untuk itu. Yang gue tau, selagi gue suka, gue bisa jujur akan hal itu." Afta tertunduk senyum. Ia lantas melangkah pergi meninggalkan Dara.
Dara terdiam, dengan mata yang masih lebar terbuka. Ia tak tahu harus melakukan apa setelah mendengar ungkapan Afta untuknya. Pikirannya seketika tersentak. Hatinya terhenti begitu saja, lidahnya seraya kaku dan pikirannya tiba-tiba menjadi kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTITLED, 2017
Teen FictionPutusnya hubungan yang ia jalin bersama laki-laki yang dicintainya, memutuskan Sandara untuk tidak jatuh cinta lagi pada siapapun. Ucapannya yang gegabah, justru mendatangkan karma tersendiri baginya. Kira-kira, karma seperti apa yang ia dapat? "Apa...