18. Trauma

750 49 0
                                    

Beberapa menit, Afta berusaha memikirkan apa yang terjadi pada Dara sehingga ia menjadi seperti phobia akan sesuatu. Afta lantas pergi mencari Yumi. Terlihat Yumi bersama Mark sedang berbincang di taman kampus.

"Afta? Ada apa?" tanya Yumi.

"Gue mau bicara sama lo, bentar kok."

"Mark, kayaknya dia mau bicara soal Dara sebentar," ucap Yumi. Mark segera menanggalkan jejaknya untuk menghindari dari mereka beberapa meter.

"Jadi, Dara ngeliat lukisannya sendiri?" Yumi menekan nada suaranya kaget membuat Afta bingung.

"Iya. Gue iseng aja lukis dia. Tapi tiba-tiba dia sedih, terus pergi. Ada apa sebenarnya?"

Yumi menjelaskan, bahwa Sandara mempunyai trauma dengan lukisannya sendiri. Saat usia Dara menginjak 5 tahun, Dara diberi hadiah oleh Ayahnya, yaitu sebuah lukisan dirinya dengan bingkai yang cukup besar. Lukisan itu menjadi yang pertama dan terakhir bagi Dara sendiri. Benda persegi panjang berukur besar itu ternyata memiliki sejarah kelam bagi kehidupan Dara.

"Dia gak pernah bosan natap lukisan itu beberapa kali. Setiap tahun di hari ulang tahunnya, Dara selalu natap lukisan itu sama Ayahnya. Dari cerita ibunya sih hampir setiap tahun Dara ngelakuin hal itu. Mereka ketawa bareng, bercanda, saling mengejek, dan paling umumnya itu Dara sama Ayahnya saling melukis bareng. Kebetulan dulu, profesi Ayah Dara emang pelukis. Tapi, saat Dara menginjak remaja, Ayahnya jatuh sakit dan meninggal. Sejak saat itu Dara kayak kehilangan setengah jiwanya gitu, karena dia emang deket banget sama Ayahnya. Itu buat trauma sendiri bagi Dara di waktu kecil."

Afta berusaha untuk menjadi pendengar baik setiap cerita yang keluar dari mulut Yumi. Dan Yumi pun, rasanya sudah tak bisa menahan untuk tak menceritakan pada siapapun kisah Dara sebenarnya. Karena Dara melarang, Yumi bahkan terpaksa membiarkan Dara terus diejek dan bully oleh orang-orang karena mereka pikir Dara memiliki kelainan. Dan, Yumi pikir, Afta adalah orang yang harus mengetahui itu semua dan yakin bahwa Afta adalah laki-laki yang bisa mengeluarkan Dara dari rasa traumanya saat ini.

"Lukisan itu gak pernah lagi Dara bersihin dari debu setelah Ayahnya meninggal. Dara sempat mengalami kecelakaan hebat disaat dia baru aja ngalamin peristiwa buruk itu. Dia bahkan sempat gak bisa jalan beberapa bulan. Dia prustasi dan kata ibunya, Dara bakar lukisan hadiah Ayahnya itu sampai jadi abu. Gue juga gak tau kenapa bisa gitu."

Afta memasang wajah kaget dengan alis mata menyurang dengan keheranan. Wajahnya memperlihatkan rasa prihatin yang begitu mendalam ketika ia mendengar kisah Dara secara detail dari sahabat Dara sendiri. Kini, Afta mengerti semuanya.

"Gue ... gue gak bermaksud buat ingatin dia sama masa lalu, dan gue gak tau kalau dia punya trauma," ujar Afta.

"Ini bukan salah lo. Dan gue berterima kasih, karena lo udah masuk ke kehidupan Dara. Gue harap, kehadiran lo akan membawa pengaruh baik buat Dara. Gue cabut. See you!"

Afta tertegun setelah Yumi pergi. Ia duduk di kursi taman kampus sejenak dan teringat lagi oleh cerita Yumi.

"Semua ini, bikin gue semakin penasaran sama Dara," gumamnya.

••

Sudah seminggu Bagus terbaring koma. Walaupun begitu, Afta tetap sabar ada di sampingnya. Membacakan cerita, menceritakan film baru, atau sekadar menggantikan bajunya. Kedua orangtua Bagus datang dengan bersamaan, namun kali ini Ayahnya membawa istri barunya.

"Afta, Bagus belum siuman?" tanya Pak Doni. Sementara Bu Resa melirik tajam mereka berdua.

"Afta, saya turut sedih karena Bagus. Semoga Bagus lekas siuman," ucap istri barunya Pak Doni.

"Heh, anak saya baik-baik aja, kenapa kamu ngomong kayak gitu?" tukas Bu Resa sinis.

"Niat saya baik bu," jawab perempuan itu datar.

"Alah, kamu senang kan liat Bagus begini," ketus Bu Resa tak mau kalah.

"Cukup, udah cukup! Ini rumah sakit. Kalian ini pengganggu buat pasien lain, kalian gak malu? Papa, Afta mohon, tolong saat ini Papa pulang aja, demi Bagus."

"Tapi ...."

"Papa, Afta mohon." Afta memohon dengan wajah sendunya.

Pak Doni memasang wajah begitu kecewa. Ia terpaksa menanggalkan jejaknya dari rumah sakit dan membawa istri barunya itu pergi dari hadapan Bu Resa dan Afta. Kali ini hanya Bu Resa juga Afta yang tengah mengawal Bagus. Monitor pasien masih berbunyi titik demi titik.

Di sisi lain, Sandara datang menemui Eresa. Terlihat wajah sumringah dari anak berusia 6 tahun itu.

"Dia siapa?" tanya Bu Resa pada Afta.

"Dia teman Afta Ma, keponakannya juga pengidap kanker."

Mereka tertawa bersama juga makan bersama. Sungguh, membuat Bu Resa iri melihat kebersamaan mereka. Matanya mulai berkaca, membuat Afta kebingungan melihat Mamanya.

"Bagus," lirih Bu Resa dengan air mata.

Tangan kekar Afta lantas memegang lengan Bu Resa. Dipeluknya hangat seorang ibu yang Afta tahu perasaannya pun sedang tidak baik-baik saja saat itu.

"Bagus akan baik-baik aja," bisik Afta.

Sandara pun tak sengaja peristiwa haru tersebut. Ia bisa melihat bahwa ikatan mereka begitu dekat tak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Hanya saja waktu mereka mungkin tak pernah saling tersedia satu sama lain.

"Siang tante."

"Siang."

Dara menghampiri ranjang Bagus menyapa Bu Resa dengan ramah.

"Tante tau, Bagus itu paling suka sama arum manis. Dokter bilang, berikan apapun yang dia suka asal masih dengan petunjuk Dokter. Setiap saya ke sini bawa arum manis, Bagus keliatan senang banget, dia bisa seharian tersenyum cuma karena arum manis," ucap Dara melamun menatap Bagus yang masih setia dengan alat bantu pernapasannya.

"Hiks! Tante gak pernah tau makanan kesukaan Bagus, tante juga gak tau hal apa yang dia suka, tante rasa ... tante udah jadi ibu yang buruk buat anak-anak tantr," ucapnya sendu dengan air mata.

"Mama," lirih Afta cemas.

"Gak ada ibu yang buruk. Semua ibu melahirkan dengan perjuangan. Bagus itu anak yang baik. Kalau tante mau liat Bagus senang, tante cukup peluk dia setelah sadar nanti." Ucapan Dara layaknya pencerah bagi Bu Resa saat itu. Afta hanya bergeming sendu mendengar semua pembicaraan singkat mereka.

Sore menjelang, kali ini Dara harus pergi pulang meninggalkan Eresa.

"Kamu jangan nakal, kakak besok ke sini lagi kok."

"Kakak .... kakak ..." Suara seorang anak laki-laki membuat Afta juga Bu Resa terbangun.

"Bagus." Dara membuat mereka segera menoleh pada Bagus.

Ya, Bagus akhirnya siuman.

"Bagus, nak ini Mama nak. Kamu siuman?" Bu Resa lantas memeluk anak bungsunya itu dengan hangat.

"Bagus, ini kakak," ucap Afta dengan air mata yang terus mengalir.

"Tuhan, tolong kasih kebahagiaan untuk mereka. Jika memang hanya singkat, aku mohon kasih kebahagiaan yang paling berharga untuk mereka. Aku sadar, bahwa bukan hanya aku yang ditimpa ujianmu," batin Dara menatap haru peristiwa itu.

See u next guyss ...
Vote + Comment + Saran
Tekan bintang di kiri bawah, Terima Kasih. ❤❤

UNTITLED, 2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang