12. Kecemasan

841 52 0
                                    

Beberapa jam kemudian, karya mereka telah dipajang di auditorium kampus. Beberapa seniman lokal, seniman luar Negeri, para pemantau seni lukis, juga orang-orang dari pihak museum Barli sudah mendatangi kampus Warnabaru. Sandara begitu tegang terlihat. Tangannya pun seketika tremor gugup. Tangan mungilnya masih terlihat kotor karena warna. Afta yang menatapnya lantas memberikan sebuah sapu tangan.

"Pelukis profesional pun harus bisa jaga kebersihan." Afta menyodorkan sapu tangannya.

"Dara," panggil Yumi.

"Yumi, akhirnya lo dateng juga. Gue takut!"

"Tenang, sekarang lo bisa kasih judul di lukisan lo. Lo harus bangkit, lo harus senyum mulai sekarang. Percaya karya lo itu bisa dilihat semua orang."

Para panitia berkeliling menatap beberapa lukisan yang sudah berbaris rapih. Gevan terlihat menghadiri auditorium kampus. Tatapannya penuh menuju Dara walaupun Sifa masih terus di sampingnya. Tangan Sifa mulai menepuk pundak Gevan. Gevan tertunduk dan berpaling saat Dara mulai melihatnya.

"Gevan? Hhh. Ini saatnya lo bangun Dara. Lo telah salah buat drama yang menjijikan bersama orang itu. Dan karya ini adalah pembuktian gue buat semua orang kalau gue tuh bisa. Gue bisa kayak yang lain. Gue berhak bahagia. Dan gue gak mau ditindas lagi," batin Dara.

Ia menatap sinis mantannya juga sahabat yang menurutnya adalah pengkhianat.

Semua panitia telah mengantongi nilai dari beberapa karya. Akan ada 2 lukisan yang dipajang di museum Barli, sekaligus seniman yang membuatnya akan dapat apresiasi berupa dipajangnya karya lukisnya, juga beberapa cendramata yang akan didapat.

"Karya kalian semua bagus, tidak ada yang tidak bagus. Hanya saja ini merupakan sebuah kompetisi dan baru kali ini pihak museum membuat program mahasiswa berkarya. Maka dari itu, ada dua karya lukisan yang akan kami apresiasi dengan bangganya. Kami akan menyebutkan nama karya juga nama seniman karya tersebut," ucap panitia.

Afta mengelurkan banyak keringat di pelipisnya. Terlihat wajah tegang menghiasi ekspresi wajahnya kala itu.
"Ngapa lo?" tanya Dara datar.

"Ya nunggu nama lo disebut lah."

"Hah?"

"Baiklah, saya akan menyebutkan nama seniman kampus Warnabaru yang akan kami apresiasi karyanya untuk masuk ke Museum Barli. Nama pertama adalah ..... Hendri Adrian dengan karya yang begitu indah, klasik, juga menarik. Arti yang sangat indah juga enak dipandang membuat lukisannya memiliki nilai estetik yang begitu membangun. Yang kedua adalah ...."

Dara juga Afta tengah fokus menunggu jawaban panitia.

"Yang kedua adalah Sandara Elena." Ucapan panitia membuat semua orang menganga. Pasalnya, Dara adalah mahasiswi yang tak menonjol di kampus Warnabaru. Dia sering di caci bahkan dibilang psikopat oleh beberapa orang, namun hasil karya yang dibuatnya mampu menonjolkan namanya di kampus dengan kebanggaan yang luar biasa.

"Dara, nama lo disebut." Afta masih menganga kaget.

"Kuping lo bermasalah, gue mau balik ah."

"Karya yang begitu unik, memiliki nilai artistik yang tinggi, maknanya begitu menjiwa, saya sampai tersentuh saat membaca temanya. Sandara Elena, besok siang lukisan kamu akan dipajang di Museum Barli, bersamaan dengan karya milik Hendri Adrian. Terima Kasih, selebihnya saya serahkan kepada pihak kampus Warnabaru," ucap panitia menggemparkan hati Dara.

Dara melotot tajam menatap lukisannya. Ia lantas pergi berlari dari acara, membuat semua orang bingung.

"Sandara, dia kenapa?" tanya salah satu dosen seni.

UNTITLED, 2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang