Sekarang giliran orang tua Afta yang sudah tiba di rumah sakit bersamaan dengan Gevan juga Reno.
"Afta, kamu siuman?" Bu Resa begitu panik bersambung terkejut bahagia melihat anaknya telah siuman.
"Ma ... Afta gak apa-apa," jawabnya lemah dan terdengar begitu santai.
"Boy, gimana kondisi lo? Udah enakan?" tanya Gevan.
"Emmm."
"Menurut gue, lo itu superman yang hidup di zaman milenial, cewek aja ditolongin sampe segitunya." Reno bergumam.
"Cewek? Siapa?" tanya Gevan.
Afta melotot tajam pada Reno, kala tidak ingin Gevan mengetahuinya lebih dulu sebelum ia memperkenalkan perihal gadis yang ia suka pada Gevan.
"Nggak. Ya kan sesama manusia itu harus saling tolong menolong."
"Afta, Bagus .... Bagus cari cari kamu. Papa gak bisa kasih alasan spesifik, beberapa kali Papa harus berbohong," ucap Pak Doni.
"Kalau gitu, nanti sore Afta mau pulang Pa. Afta gak mau bikin kondisi Bagus down lagi. Kalau dia tau Afta kayak gini, dia pasti di suntik lagi, Afta gak mau itu." Afta membuat Gevan sendu mendengarnya.
"Bagus itu anak yang kuat, malahan gue takut kalah kuat sama dia."
"Lo jangan ngomong kayak gitu."
Ucapan Gevan membuat Afta menatapnya datar.
"Maafin gue Van."
"Kalian kenapa sih? Saling minta maaf begini? Gue gak ngerti," tukas Reno.
Sampai di rumah sakit, Dara dan Eresa pergi ke ranjang sebelah, tempat Bagus terbaring nyaman. Eresa terus menggenggam tangan Dara begitu kuat.
"Kak, kenapa kak Afta lama? Kenapa gak mau ke sini?"
"Emm, Bagus kamu harus sabar yah. Kakak kamu mungkin besok bisa pulang. Kamu gak usah khawatir, ada kakak sama Eresa di sini, iya kan?"
"Iya Bagus, kita main yuk di taman," ajak Eresa.
Di sela itu, Dara memikirkan perkataan Afta di rumah sakit. Ya, pria itu baru saja menyatakan perasaannya langsung. Dara mulai melotot heran, jantungnya berdekup begitu kencang. Tangan kanannya mulai ditempelkan di dadanya dan merasakan apa yang tengah terjadi di dalamnya.
"Apa ini semua?" gumamnya bingung.
•••
Keesokannya, Afta sudah terlihat lebih segar walaupun kepalanya masih terbungkus dengan kain kasa yang mengitari sekitaran kepalanya. Afta lantas ke rumah sakit mendatangi Bagus. Bagus melotot melihat kakaknya dengan kondisi yang aneh.
"Kakak kenapa?"
"Kakak kejedot, nih kakak bawain oleh-oleh buat kamu."
"Kenapa kejedot bisa kayak gitu kak? Kejedotnya sampe berdarah ya?"
"Nggak kok Bagus. Kata temen kakak, kakak harus pake ini supaya benjolnya gak keliatan." Afta terkekeh bersambung Bagus menimpalinya dengan tawa sumringah.
"Bagus seneng kakak pulang." Bagus merangkul Afta.
"Tumben manja. Pasti ada maunya nih ya? Iya kan .... hayo ngaku hayo." Afta berusaha mengibur adiknya itu, tangannya terus menggelitik adik kesayangannya dengan penuh perhatian.
Dara masih terdiam di kamarnya. Dirinya terus teringat dengan kejadian Afta. Baru kali ini Dara merasa ada laki-laki yang rela terluka demi dirinya selain Ayahnya. Kampus kembali beraktifitas seperti biasa. Kali ini mahasiswa dilarang melewati wilayah rekontruksi. Wilayahnya pun sudah diberi garis pembatas.
Afta terlihat berjalan dengan santainya bersama Reno. Kali ini, ia lebih tenang dari sebelumnya yang selalu pecicilan. Dara dan Yumi berpapasan dengan mereka di halaman kampus.
"Afta, lo gak apa-apa? Kenapa lo keluar dari rumah sakit?" tanya Yumi keheranan.
"Gue gak betah, Bagus sendirian.
Dara tertunduk bingung. Ia terus terdiam kala Afta mulai menatapnya.
"Ma ... makasih." Dara terbata.
"Dara, kalau mau berterima kasih itu harus dengan serius, sopan juga jelas." Yumi berusaha mendorong Dara ke hadapan Afta. Dirinya lantas pergi meninggalkan mereka berdua di sana. Hal itu membuat Dara semakin merasakan jantungnya yang berdekup begitu kencang.
"Huhhh. Gue benci romance scene. Gue duluan bro, see ya." Reno melangkah pergi.
"Lo ngomong apa barusan gue gak denger?" Afta terus tersenyum melihat Dara yang tertunduk menyesal.
"Makasih."
"Apa apa? Sekali lagi?" Afta mendekatkan sebelah telinganya pada Dara.
"GUE BILANG MAKASIH!" ketus Dara dengan suara lantang.
"Eh, apa begini cara orang berterima kasih?"
"Lagian budek. Pokoknya makasih makasih makasih. Awas, lo ngehalangin jalan, gue mau pergi." Ucapan Dara terdengar jengkel. Ia melangkah pergi dengan wajahnya yang mulai memerah ketika berhadapan langsung dengan Afta. Sebenarnya, hal itu sudah terbiasa, tapi saat itu yang Dara rasa sungguh aneh dalam hatinya
"Aw aw," keluh Afta melirik Dara dengan sebelah matanya.
Dara lantas menoleh ke belakang dengan panik.
"Afta, lo gak apa-apa?" Dara cemas.
Afta lantas tersenyum blushing.
"Liat, lo khawatir sama gue," ucap Afta dengan pedenya.
"Apa? Kayaj anak kecil tau gak lo!" ketus Dara jengkel hendak pergi lagi dari Afta.
Namun, tangan kekar Afta dengan sergap menggenggam tangannya. Mereka lantas melangkah bersama. Gadis dengan wajah imut itu bergeming kebingungan. Afta begitu kuat menggenggamnya, tapi kali ini rasanya begitu nyaman, hingga dirinya tak ingin menghindar dari genggaman itu.
"Gimana sama jawaban gue waktu itu?"
"Sial, kenapa dia nanya itu sedangkan gue lagi nyaman kayak gini sekarang. Yumi mungkin benar, gue harus buka hati walaupun Gevan belum sepenuhnya hilang dari pikiran gue," batin Dara.
"Dar, gue serius. Gue gak suka lo terluka." Mata Afta berkaca membuat Dara begitu bingung.
"Apa kepala lo masih sakit?" tanya Dara senyum membuat Afta bingung.
"Apa obat lo udah diminum?"
"Jadi artinya itu ... lo terima gue?"
"Siapa bilang, gue mau kita kencan dulu, baru gue pikir-pikir hal itu," jawab Dara mulai blushing.
"Serius? Kencan? Yuhuuu, yess. Gue jemput nanti malem." Afta lantas berlari kegirangan menuju kelasnya. Sementara Dara terkekeh geli kala melihat pria sakit jiwa yang selalu membuatnya bisa terus tertawa.
VOMENT🙏🙏🙏😻😻THX
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTITLED, 2017
Teen FictionPutusnya hubungan yang ia jalin bersama laki-laki yang dicintainya, memutuskan Sandara untuk tidak jatuh cinta lagi pada siapapun. Ucapannya yang gegabah, justru mendatangkan karma tersendiri baginya. Kira-kira, karma seperti apa yang ia dapat? "Apa...