Bisakah aku percaya pada sikap yang berada di ambang?
Aku ingin merasa senang, namun satu sisi juga tak tenang.
Bisakah satu hati menetap pada satu rumah yang sama?
Meski rasa perlahan berbeda dan langkah tak lagi seirama.
Bisakah?☔☔☔
Langit tak secerah biasanya, awan hitam menggumpal menutupi matahari yang seharusnya sedang terik-teriknya di siang kali ini. Cuaca mendung, bahkan sudah mulai terdengar gemuruh yang sepertinya memberitahukan bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Benar saja, perlahan langit menjatuhkan tangisnya. Hanya gerimis kecil, yang mungkin akan segera deras.
Berbanding terbalik dengan langit yang sedang sedih-sedihnya, Raina justru melebarkan senyumnya melihat rintik hujan yang jatuh di hadapannya. Ia mencoba menghitung setiap rintik yang jatuh, namun kewalahan karena rintiknya semakin lama, semakin deras jatuhnya. Seperti saling berlomba siapa yang lebih dulu jatuh, maka dialah yang menang. Padahal, hujan yang jatuh hanya akan bertahan sejenak, lalu setelahnya lenyap terserap tanah. Dan, yang paling di tunggu, ialah aroma khas yang biasanya hadir setelah hujan.
Seseorang di sebelahnya berdehem cukup kencang, membuat Raina tersadar dari lamunannya. Ia hampir lupa bahwa dirinya tak hanya seorang diri berada di halte depan kampusnya. Ia bersama seseorang.
Seseorang yang teramat ia sayangi.
"bentar lagi, ya?" pinta Raina dengan senyum terbaiknya. Mau, tak mau seseorang di sebelahnya hanya mengangguk pasrah. Padahal, ia sudah cukup lelah berdiam di sini hanya untuk menyaksikan hujan yang jatuh.
"Angkasa, kenapa aku suka hujan, ya?" tanya Raina kepada laki-laki di sebelahnya yang tak lain adalah Angkasa Milano. Kekasihnya.
Angkasa menaikkan sebelah alisnya, bingung. "mana gue tau!" ucapnya tak acuh.
Raina berdecak sebal. Angkasa tetaplah seorang Angkasa. Laki-laki bermulut pedas yang sama sekali tak ada manis-manisnya, meskipun dirinya sudah menyandang status sebagai pacar, dan sudah terbilang cukup lama.
"Angkasa, bisa gak sih lembutan dikit, gitu?! Ini suasananya lagi bagus, jangan bikin berantakan." ketus Raina yang merasa kesal.
Bukannya meminta maaf, Angkasa malah tertawa saat mendengar penuturan Raina. Iya, Angkasa memang tak sejutek dulu, yang untuk senyum sedikit saja, rasanya susah. Sekarang, ia lebih mudah tertawa, dan kadang sedikit romantis. Tapi, Sedikit!
"kan gue bukan cenayang yang bisa tahu tanpa lo kasih tahu. Emangnya kenapa sih lo suka hujan?" tanya Angkasa setelah tawanya reda.
Raina masih memberengut kesal, enggan menjawab pertanyaan Angkasa.
"Aku emang gak tau kenapa kamu suka sama hujan, makanya aku jawab begitu. Daripada aku sok tahu, dan ngarang cerita. Iya 'kan?" Raina hampir saja luluh saat mendengar penuturan Angkasa yang tak seketus tadi, serta tak lagi menggunakan gue-lo.
Tapi, ia tetap mempertahankan bungkamnya. Ingin melihat bagaimana seorang Angkasa memperlakukannya saat sedang marah seperti ini.
"beneran marah?" lagi, Raina mengabaikannya. Kali ini, hujan lebih menarik untuk di pandangi, ketimbang seseorang di sebelahnya.
Angkasa mengedikkan kedua bahunya, "yaudah kalau masih mau marah, aku pulang duluan." ucapnya lalu beranjak bangun.
Raina berdecak, kekesalannya bertambah dua kali lipat. Ia menarik ujung kemeja Angkasa dan membuat si empunya berbalik. Angkasa hanya menaikkan sebelah alisnya.
"aku suka hujan karena namaku artinya hujan, dan aku suka hujan juga karena-" ucapannya terhenti ketika Angkasa yang tiba-tiba saja langsung memeluknya. Tanpa mengucapkan apa pun. Raina diam mematung saat dipeluk, ia tak membalasnya sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainangkasa #2 [END]
Teen FictionHujan memang diciptakan untuk dijatuhkan. Semau dan semampu apapun hujan bertahan, tetap saja jatuh ialah keharusan. Semesta tak kenal kasih. Semesta tak pernah memilih. Jika sebuah hati berpaling, itu bukan salah semesta. Jika pada akhirnya harus...