Atap-atap runtuh.
Badai menyisir rumah yang semula utuh.
Membawanya pada arus-arus paling karam.
Dibiarkannya tenggelam.
Hancur dan padam.
Apalah kita sekarang?
Selain debu-debu yang lekang.
Perasaan yang hilang.☔☔☔
"Ra, lo jangan diem begitu. Kalau mau marahin gue, gapapa marahin aja, tapi jangan diem begitu. Ra... " bujuk Angkasa sembari sesekali melirik ke sebelahnya, melihat Raina yang tetap diam. Kembali bungkam.
"Ra, ini gue serius. Gue sama dia gak ada apa-apa. Sumpah dah" Angkasa berkata seperti itu sembari menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf V.
"Janji itu kayak aturan, ya? Dibuat untuk dilanggar?" sindirnya tanpa menoleh sedikit pun.
Angkasa yang merasa perempuan di sebelahnya marah besar pun langsung menepikan mobilnya. Ia memposisikan tubuhnya menghadap Raina.
"Ra, gue sama dia cuma sebatas temen kampus, dan dia cuma tetangga baru gue. Gak lebih dari itu." Raina sempat terkejut saat Angkasa mengatakan bahwa Embun adalah tetangga baru Angkasa. Berarti jarak mereka berdekatan dan besar kemungkinan untuk lebih sering bertemu. Hal itu malah membuat Raina semakin kesal.
Melihat Raina yang tetap geming, Angkasa tersenyum misterius, "lo mau diem kayak gitu terus sampai kapan?"Tak ada jawaban.
"yakin mau gitu terus?" tanyanya sembari mengikis jarak diantara mereka. Raina awalnya tak menyadari, namun ketika hembusan nafas Angkasa mengenai wajahnya, Raina baru menyadari bahwa jarak diantara keduanya sangat tipis. Bahkan hanya beberapa senti saja.
"gimana kalau kayak gini, apa lo masih betah diem?" tantang Angkasa tepat di sebelah wajah Raina.
Suhu di dalam mobil yang semula dingin, kini terasa panas. Raina meremas ujung roknya dengan mempertimbangkan apa ia harus tetap diam dalam keadaan seperti ini, atau berbicara dan kembali luluh.
Di sampingnya, Angkasa terdiam memperhatikan wajah Raina dengan jarak sedekat ini. Sesuatu di dalam dadanya berdebar lebih kencang, ia merasa sangat gugup. Apalagi saat pandangannya tak sengaja menatap bibir mungil milik Raina yang berwarna merah muda. Angkasa tak kuasa dan segera menjauhkan dirinya. Ia mengambil pasokan oksigen sebanyak mungkin, lalu mengembuskannya. Niatnya ingin mengerjai Raina, malah ia yang terperangkap.
Barulah Raina menoleh dengan kening berkerut, "segitu doang?"
Angkasa yang sedang mengatur ritme jantungnya pun menoleh kaget. Tak menyangka dengan penuturan Raina.
"cuma segitu doang usahanya?" cibir Raina sembari tertawa mengejek. Benar-benar berbeda dengan Raina polos yang dulu ia temui.
Merasa ditantang, Angkasa menampilkan senyum mengerikan. Ia bahkan kembali mengikis jarak keduanya. Persetan dengan debar di dadannya, ia menangkup wajah Raina menggunakan satu tangannya.
Dasar bodoh! Rain bodoh. Maki Raina berulangkali karena merasa terjebak.
Raina semakin takut dan memilih untuk menutup kedua matanya. Ia dapat merasakan hembusan napas Angkasa yang menyentuh wajahnya. Bahkan pipinya terasa sangat panas.
Angkasa terkekeh melihat Raina yang menutup mata. Ia meniup cukup kencang wajah itu dan menjauhkan dirinya sembari tertawa kencang, membuat Raina membuka kedua matanya.
"Ckck, Lo berharap apa, Ra? Berharap banget bakal gue cium?" ledeknya masih dengan tawanya.
Raina berdecak sebal karena merasa perkataan Angkasa memang benar. Ia memang berpikiran Angkasa akan menciumnya karena dari cerita yang ia baca, setiap laki-laki mendekat seperti itu pasti akan mencium gadisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainangkasa #2 [END]
Teen FictionHujan memang diciptakan untuk dijatuhkan. Semau dan semampu apapun hujan bertahan, tetap saja jatuh ialah keharusan. Semesta tak kenal kasih. Semesta tak pernah memilih. Jika sebuah hati berpaling, itu bukan salah semesta. Jika pada akhirnya harus...