7

1.7K 263 3
                                    

"Ibu ingin memberitahukan, bahwa dirimu mendapat beasiswa Jihoon. Universitas Negeri Seoul, Fakultas Kedokteran, Program Studi Pendidikan Kedokteran. Ibu tidak memaksamu menerimanya, hanya ibu menyampaian saja. Tidak semua siswa memiliki kesempatan itu Jihoon, hanya dua orang dari sekolah kita. Kau dan Soonyoung" kepala Jihoon yang sejak tadi tertunduk langsung mendongak menatap Yoo Saem yang berbicara dengan nada teramat lembut. Kedua matanya memancarkan kegelisahan. Selama seminggu terakhir, sekolahnya memang memiliki program konseling mengenai studi lanjutan yang akan dipilih oleh siswanya. Pemberitahuan penerima beasiswa juga dilakukan di waktu yang sama.

    "Jihoon, ibu berharap dirimu dapat memilih yang terbaik untuk masa depanmu. Kamu anak cerdas Jihoon, kamu juga anak yang mandi dan pekerja keras. Percaya pada ibu, hasil tidak akan mengkhianati usaha, Nak" kepala gadis itu menunduk kembali. Ini terlalu jauh dari ekspektasinya. Dia tidak menginginkan ini semua. Ia menginginkan nilai akademik yang tinggi hanya untuk membuktikan kepada sang appa bahwa ia mampu memenuhi keinginan sang appa, lalu kemudian sang appa juga mau memenuhi keinginannya untuk memilih bidang studinya sendiri. "Bicarakan dengan orang tuamu, Jihoon. Apa pun keputusanmu, ibu akan mendukungnya, Nak"
.
.
.

    Soonyoung menyandarkan tubuhnya pada dinding samping pintu ruang guru. Kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana sekolahnya. Ekspresi wajahnya tak terbaca.

   Jihoon keluar dari ruang guru dengan pandangan kosong. Terdiam sejenak dengan segala macam pikiran yang beradu menjadi satu didalam kepala cantiknya.

  "Jadi apa rencanamu kali ini?" Jihoon hanya melihatnya dari ekor mata sebelum pergi begitu saja.

  "Jangan lari dari kenyataan Jihoon. Tentukan pilihanmu" pemuda itu menahan lengan Jihoon cepat, membalikkan badan lalu mengangkat dagu gadis kelahiran november itu agar menatap kearahnya. "Eomma menginginkanmu berada dijalan yang sama denganku"

   "Jangan selalu mengatas namakan eommoni Soonyoung. Aku tidak bisa" dihentakkan kasar tangan Soonyoung. Manik hitam itu menatap dalam pada manik cokelat gelap Soonyoung. "Aku tidak akan kalah"
.
.
.

   Eunbi tengah duduk sendiri di tribun lapangan basket outdoor sekolahnya. Gadis itu nampak meminum jus strawberry dengan buku ditangannya. Jihoon menghampiri gadis itu lalu duduk disebelahnya. Ia silangkan kakinya dan menyandarkan diri pada batang pohon dibelakangnya.

   "Apa yang kau lakukan?" tanpa menjawab, Jihoon menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Dapat didengarnya Eunbi menghela napas kasar.

  "Hanya ingin mengucapkan kau harus berusaha lebih giat lagi untuk peringkatmu" tanpa ekspresi.

  "Tidakkah kau lelah Jihoon?"

  "Wae? Kau lelah dan mengaku kalah?" Jihoon terkekeh pelan.

  "Tentu tidak. Akan aku buktikan aku mampu mengalahkanmu. Manusia egois seperti dirimu tidak akan bertahan lama Jihoon" meletakkan kedua tangan disisi kanan kirinya membuat Jihoon lebih santai.

  "Benar. Aku egois. Karena aku akan merebut semuanya darimu"

  "Kau sudah merebut segalanya dariku Jihoon. Biarkan aku memilikinya juga" jeda sejenak diantara keduanya. Dapat Jihokn lihat kedua mata gadis itu berkaca-kaca. "Jika kau memang mau, ambil saja semuanya Jihoon. Tapi tolong, jangan ambil Soonyoung. Aku tahu kau tidak akan tertarik, tapi aku hanya ingin keberadaannya untukku Jihoon. Aku tahu kalian mendapat beasiswa yang sama, tapi kali ini saja Jihoon. Biarkan aku merasakan kebahagiaanku karena usahaku sendiri. Aku ingin merasakan kebahagiaan dengan Soonyoung" bagus. Itu kalimat yang ingin Jihoon dengar.

    "Kau pikir aku peduli?" sebelah alis Jihoon terangkat.

   "Kau peduli padaku Jihoon. Aku tahu didalam hatimu kau peduli padaku. Kau yang membawaku keruang kesehatankan saat itu? Terimakasih Jihoon" memutar bola matanya malas. Ia menghadapkan dirinya pada Eunbi.

  "Tidak perlu menjadi bipolar untuk berterimakasih. Dan kau harus tau. Aku bukan orang yang baik. Terutama padamu" ditatapnya manik biru palsu itu. "Kesakitan ibuku, akan aku balaskan"
.
.
.

   Pagi ini seluruh anggota keluarga berada dirumah. Tuan Lee, Nyonya Jung, Eunbi, dan Jihoon. Hari ini adalah hari dimana sebuah keputusan telah diambilnya. Keputusan besar yang ia yakini akan  merubah sebagian besar jalan hidupnya. Sudah hampir sebulan ini ia memikirkan segalanya matang-matang. Dan satu hal yang membuatnya menyanggupi pilihan berat ini.

Flashback On

   Menjadi murid tingkat akhir bukanlah hal yang mudah. Hal ini justru menjadi waktu yang rawan bagi mara murid. Karena stress dapat memicu gangguan kejiwaan yang bahkan akhir-akhir nya marak terjadinya kasus bunuh diri pada siswa tingkat akhir yang akan memasuki jenjang perkuliahan.

    Jihoon tengah berada di klub musiknya. Seperti biasa, ketika ia memiliki waktu luang, ia akan mampir untuk bermain di klub musik. Agar isi kepalanya dapat ter-refresh dari kepenatan pelajaran. Piano adalah alat musik favoritnya. Kacamata baca masih bertengger cantik diwajahnya, membuat kesan manis dengan rambut hitamnya yang di kuncir kuda. Jemari cantik tanpa polesan cat kuku itu bermain indah diatas nuts-nuts balok putih dengan apik. Alunan lembug terdengar keseluruh penjuru ruang musik. Kepalanya kadang terayun mengikuti alunan melodi yang ia buat sendiri, membuat poninya ikut bergoyang lucu. Ini sisi lain dari dirinya. Yang tak banyak orang tau, dan membuat seisi klub musik beruntung karena memiliki kesempatan mengenal Jihoon lebih dekat. Bibir tipis tanpa polesan apa pun itu kadang tersenyum kadang merenggut sedih, dan kadang mengeratkan rahang marah. Hatinya ikut bermain disana. Hingga pintu ruang musik dibuka paksa dan kasar.

  "Lee Jihoon, Eomma masuk rumah sakit" Jihoon sontak berdiri dengan mata membola.

  "Jangan bicara omong kosong" tak ada jawaban. Jihoon ditarik paksa Soonyoung kembali kekelasnya untuk mengambil tas, sedangkan Soonyoung sendiri kembali ke kelas mengambil tasnya sendiri dan berlari kearah parkiran. Jihoon menyempatkan diri mampir ke ruang bimbingan konseling untuk meminta perijinan. Beruntung Jihoon dan Soonyoung murid yang disegani karena rumor beasiswa mereka yang tersebar cepat.

    Tidak ada yang tahu keduanya pergi meninggalkan sekolah kecuali pihak sekolah. Apalagi Eunbi dan teman-temannya yang selalu menganggap Jihoon tak ada.
.
.
.

  Keduanya sudah sangat kacau. Jihoon melihat Soonyoung menitikkan air mata khawatir sejak tadi. Emosi namja itu tengah digoda. Dalam perjalanan pun, ada saja orang-orang yang hampir menyerempet mereka, memotong jalan, dan macet. Soonyoung berkali-kali memukul roda setirnya dengan berbagai umpatan.

   "Soonyoung tenanglah" Jihoon benar-benar jengah pada Soonyoung yanh emosional.

  "Eomma masuk rumah sakit Jihoon dan kau menyuruhku tenang? Apa kau gila?"

  "Soon, jika terjadi apa-apa pada kita sebelum tiba di rumah sakit pasti akan membuat eommoni dan abeoji khawatir. Jangan menambah beban mereka bodoh!"

   Setelahnya tidak ada percakapan lagi dari keduanya. Setibanya dirumah sakit Soonyoung dan Jihoon dapat sedikit bernapas lega, Kwon eommoni telah dipindahkan ke ruang rawat inap yang artinya keadaannya sudah membaik.

   Jihoon menahan Soonyoung sebelum mereka masuk ke kamar rawat inap Kwon eommoni. Sedikit berjinjit, Jihoon merapikan sedikit rambut dan kerah Soonyoung yang berantakan. Merapikan gulungan lengan kemeja Soonyoung. Lalu menganggukkan kepalanya mantap saat dirasa Soonyoung sudah layak dilihat oleh kedua orang tuanya.
.
.
.

Mask (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang