2

2.4K 310 9
                                    

    Jihoon baru saja tiba dirumah ketika sang ayah memanggil.

   "Jihoon-ah, ayah ingin bicara" seperti biasa, elegan dan tegas. Dan Jihoon membenci tatapan mata mengintimidasi itu. Tanpa suara ia duduk dihadapan sang ayah. Berusaha setenang mungkin meskipun kepalanya sedang menebak-nebak arah pembicaraan sang ayah.

   "Kau kembali bertengkar dengan Eunbi?" Sudut bibir Jihoon tak kuasa terangkat. Mendecih tanpa suara mendengar ucapan ayahnya. "Kenapa-"

    "Kali ini apa yang dia katakan?" senyum meremehkan tak lagi dapat ia tahan.

   "Kau memanggilnya jalang"

   "Benar. Dia memang jalang bukan?" beberapa detik kemudian ekspresi wajahnya kembali datar saat seorang wanita paruh baya datang menghampiri mereka. Jihoon segera angkat kaki namun berhenti sesaat tepat dihadapan wanita paruh baya itu, menatap tepat dikedua bola mata hazel nya. "Jalang seperti ibunya"
.
.
.

    "Tidak kah kau bisa menghargaiku? Aku sudah menjemputmu!" Soonyoung menarik kasar tangan Jihoon hingga Jihoon berbalik menghadap Soonyoung. Keduanya melempar tatapan sengit tak mau mengalah.

   "Aku tidak pernah memintamu menjemputku!" desis gadis mungil itu.  Ia berusaha melepas genggaman tangan Soonyoung dipergelangan tangannya.

   "Jangan mengabaikanku! Aku benci diabaikan!"

   "Jangan memaksaku! Aku benci dipaksa! Lepas!" seakan tuli Soonyoung justru menariknya masuk kedalam mobil. Mengendarai mobilnya seperti orang kesetanan tanpa memperdulikan Jihoon yang sudah pucat disampingnya. Kedua mata semi sipit itu memejam erat, tubuhnya bergetar, tangannya mencengkram erat seatbelt, bahkan rasa-rasanya ia terus menahan napas.

   Setibanya diparkiran sekolah Soonyoung pergi begitu saja dengan suara bantingan pintu mobil yang keras. Seandainya Soonyoung mau diam ditempat barang beberapa menit saja ia akan menemukan seorang gadis menunduk dalam diam dengan air mata meluncur bebas dipipi yang kini mulai tirus.
.
.
.

   "Ada apa denganmu?" tak ada jawaban. Gadis itu tetap diam sembari menelungkupkan kepalanya diantara tangan terlipat diatas meja perpustakaan. Mata pemuda itu menangkap pergelangan tangan Jihoon yang memerah hampir membiru. Ketika ia hampir menyentuhnya gadis itu menepis kasar dan pergi begitu saja.

   "Kau mengabaikanku lagi. Kau anggap aku saudaramu atau bukan Jihoon?"
.
.
.

   Hari ini Jihoon tidak baik-baik saja setelah apa yang terjadi tadi pagi. Kelebat bayangan menakutkan itu kembali muncul kala gadis mungil itu mencoba memejamkan matanya. Sumpah serapah ia lontarkan untuk Soonyoung. Ia benci pada situasi seperti ini lagi. Serta pergelangan tangannya yang masih nampak merah. Moodnya turun drastis, wajah pucatnya masih terlihat.

    "Ya! Apa yang kau lakukan hingga kau terpilih sebagai perwakilan sekolah di olimpiade matematika itu hah? Kau memanipulasinya bukan?" Tentu saja Eunbi yang melakukan. Siapa lagi orang disekolah ini yang sangat membencinya? Ahh.. Hampir semua murid disekolah ini memang membencinya.

   "Lalu?" Dan bukan Lee Jihoon namanya jika tidak menantang balik. Oh ayolah, pemandangan seperti ini selalu ia dapatkan dari gadis entah berantah itu.

  "Kau benar-benar serakah Jihoon!!  Kau bahkan sudah merebut semuanya dariku! Kau-" dengan cepat Jihoon menangkap tangan Eunbi saat gadis itu hendak menjambak rambutnya. Cukup memutar kebelakang sudah dapat mengunci pergerakan Eunbi. Hei, Jihoon bukan gadis lemah yang akan hanya menangis jika diperlakukan semena-mena.

   "Jika kupatahkan tangan ini, tidak hanya olimpiade bahkan kau mungkin tidak akan bisa melukis lagi. Bagaimana?" bisiknya lembut. Siswa lain? Hanya diam ditempat memperhatikan bahkan ada yang merekamnya.

  "Kau sialan Jihoon, kau gadis sialan" Setelahnya Jihoon yang didorong menjauh, cukup keras hingga pinggul gadis mungil itu menubruk ujung meja yang runcing.

  "Sial" gumamnya pelan. Dengan desis kesakitan Jihoon berusaha bangkit. Namun pintu kelas sudah terbuka tentu saja bersama Han Saem dan Cho Saem yang langsung masuk. Sudut bibir Jihoon sedikit terangkat, hanya tipis sekali hampir tak terlihat. Tentu saja ini timing yang menguntungkan baginya. Kesalahan akan dijatuhkan pada gadis gila itu dan dia mendapat pembelaan. Toh sejak awal dia tidak bersalah.

"Jung Eunbi, Lee Jihoon. Ikut saem sekarang juga"
.
.
.

  Jihoon tersenyum remeh dari atap sekolah. Dibawah sana ia melihat Eunbi melakukan pelayanan masyarakat dengan membersihkan sampah dihalaman sekolah dan akan terjadi hingga tiga hari kedepan. Ketika diruang konseling tadi bahkan Jihoon belum mengucapkan satu kata pun, namun Han Saem dan Cho Saem sudah memutuskan bahwa Eunbi yang bersalah hanya dengan melihat CCTV ruang kelasnya. Meskipun gadis bermanik biru palsu itu sudah meminta maaf -palsu- juga tapi hukuman tetap diberikan.

  Manik hitamnya bertemu satu garis dengan Soonyoung yang setia menemani Eunbi dari tepi lapangan. Jihoon tahu pasti apa yang dipikirkan lelaki itu. Mendadak dadanya berdenyut sakit namun ia menarik sudut bibirnya seakan mengatakan bahwa ia tidak akan pernah mengalah pada apapun dan siapapun.

Mask (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang