12

1.6K 264 12
                                    

       Jihoon dan Wonwoo sedang membawa beberapa buku perpustakaan untuk dikembalikan. Wonwoo hari ini sedang dalam mood yang baik, gadis itu begitu bersemangat saat kedua orang tuanya menelfon akan datang ke acara kelulusan mereka kelak.

    "Bahkan ini belum ujian kelulusan tapi kau sudah membicarakan upacara kelulusan" Wonwoo menghendikkan bahu tak peduli. Yang penting ia merasa bahagia karena kedua orang tuanya masih sempat meluangkan waktu untuknya.

   "Apa yang gadis Lee itu lakukan hingga Soonyoung dapat bertunangan dengannya?" suara halus yang menarik perhatiannya saat akan meletakkan kembali buku biologi, tentang metabolisme. Bergosip didalam perpustakaan, eoh?

  "Atau dia sengaja menjebak Soonyoung agar mereka bisa bertunangan?"

 "Maksudnya?"

  "Dengan tubuhnya mungkin"

  Jihoon tidak bisa menahan dirinya untuk tidak ringan tangan. Penjaga perpustakaan datang saat suara tamparan menggema jelas diruangan yang sunyi itu. Jihoon melirik sekilas nametag dan garis berwarna merah di kerah jas seragamnya. Park Hyungseo, kelas ipa 2-1. Gadis yang berusaha menjadi seperti dirinya. Meraih peringkat akademik paralel angkatannya, mengikuti klub musik dan klub taekwondo, yang membedakan adalah cara gadis itu mencari perhatian para guru dan murid disekolah itu.

  "Jihoon" Wonwoo melihat bagaimana Jihoon perlahan mendekatkan wajahnya kearah gadis itu, sedangkan teman-temannya yang lain berdiri kaku disampingnya.

  "Katakan sekali lagi" 

  "Mwo? Kau melakukan tindakan kriminal padaku, sunbae!" keluh gadis itu. Jihoon menatap tepat pada manik coklat gadis didepannya, setelah yakin fokus gadis itu hanya padanya ia lebih mendekatkan diri lagi.

  "Peringatan pertama dan terakhir. Atau kau yang akan menyesal" lirihnya penuh penekanan, Jihoon menegakkan badannya, tersenyum miring dengan tangan bersidekap. "Obsesimu menjadi diriku terlalu tinggi. Buang rasa iri mu itu, atau kau benar-benar akan menyesal" barusaja dua langkah Jihoon kembali berbalik, menatap ketiga teman gadis itu. "Berlaku juga untuk kalian"

   Jihoon langsung menghampiri kesekretariatan perpustakaan dan meminta maaf atas kejadian tadi ditemani Wonwoo. Wonwoo bukan tidak ingin melerai, tapi gadis dengan pemikiran seperti itu kadang perlu menggunakan cara keras bahkan kasar untuk membuat mereka kembali sadar. Dan Wonwoo merasa memilih obsi yang tepat untuk tidak melerai, lagipula ia tahu betul bahwa sekolah ini sepertinya seratus persen memihak pada Lee Jihoon. Anak emas sekolah yang menyumbang lebih dari sepuluh piala tiap tahunnya. Serta Jihoon bukanlah anak yang ceroboh dalam mengambil keputusan.

.

.

.

   Sejak acara perjodohan itu dibicarakan, Jihoon memilih pindah ke flatnya. Wonwoo sedikit meringis perih, melihat telapak kaki Jihoon penuh dengan darah. Tapi yang membuat Wonwoo takut adalah Jihoon tetap menunjukkan stoic face nya. Sepatu olahraga Jihoon dimasukki pecahan kaca oleh orang-orang tak dikenal.

    " Harusnya kau bilang" Jihoon menyandarkan diri pada dinding belakangnya, membiarkan Wonwoo membantunya membersihkan noda darah pada telapak kaki miliknya yang tergantung disamping ranjang ruang kesehatan. "Apa kau tidak merasakannya saat lari tadi?"

    "Sejak kapan kau jadi cerewet Wonu?" itu panggilan favorit Jihoon untuk Wonwoo. Gemas, Wonwoo sedikit menekam luka Jihoon tapi tak ada respon apapun dari Jihoon.

   "Aku kembali ke kelas dulu" setelahnya gadis tiang itu hilang dari pintu ruang kesehatan. Menyisakan Jihoon dengan segala spekulasinya akan segala hal yang akhir-akhir ini menimpanya. Beberapa hari yang lalu jemarinya tidak sengaja tertusuk silet saat meraba laci mejanya, lalu tiba-tiba dirinya tertimpa buku-buku diperpustakaan, belum lagi ia yang terserempet motor beberapa minggu lalu.

   Ia tidak akan mempermasalahkan apapun selama ia rasa masih baik-baik saja. Tapi ini semakin intens. Setiap minggu pasti ada saja yang terjadi. Ia harus lebih hati-hati.

   Jihoon memilih kembali ke kelasnya. Dengan langkah tertatih ia menenteng sepatunya yang telah berubah warna menjadi merah karena darah menuju kelasnya. Tidak ada ringisan disana, seakan sudah mati rasa. Jihoon bungkam ketika guru konseling memberikkan beberapa pertanyaan mengenai adanya kaca di sepatunya.

   "Saya masih bisa mengatasinya. Terimakasih saem" hanya itu yang ia ucapkan saat para guru mencoba memberi bantuan dengan memberikam punishment pada para pelaku.
.
.
.

    Soonyoung meninggalkan mobilnya di rumah. Ia memilih menggunakan kendaraan umum hari ini. Cuaca sore itu mendung, pukul tujuh malam dimana para pekerja pulang kantor atau melakukam pergantoan shift membuat jalanan lebih padat dari biasanya. Ia tersenyum kecil melihat pesan balasan dari Eunbi.

Eunbi 💕
Tak apa Soonyoungie, aku akan pulang dengan selamat. Kau! Hati-hatilah dijalan 🤗
19.23

  Hatinya terasa ringan, mata tajamnya melihat ke kanan dan kiri mencoba mencari sesuatu yang menarik. Banyak pasangan kantoran yang nampak jalan berdua, mungkin pulang bersama atau kencan kecil setelah melakukan rutinitas pekerjaan yang membuat mereka penat.

    Manik cokelat tajamnya menemukan seorang gadis menunggu di halte bus dengan satu tongkat bantu. Kacamata bulat masih terlihat di wajah gadis itu. Soonyoung baru akan mendekat saat segerombolan gadis lain  mendekati gadis berkacamata itu. Jihoon. Segerombolan gadis itu nampak mendorong-dorong bahu Jihoon. Satu alis Soonyoung terangkat melihat Jihoon membanting tangan-tangan yang menyentuhnya dengan raut tenang. Bahkan Jihoon terlihat memutar lengan salah satu gadis itu dengan mantap, membuat Soonyoung tanpa sadar mengangkat salah satu ujung bibirnya. Namun kedua manik sipit Soonyoung membola melihat dua orang gadis mendorong Jihoon keras hingga gadis berkacamata itu terjatuh di tengah jalan raya. Dan sebuah mobil terlihat melaju kencang kearah Jihoon. Soonyoung berlari cepat lalu menghentikan langkahnya saat melihat seorang pemuda menyelamatkan Jihoon dan membanting tubuh keduanya hingga terdengar debaman keras antara tubuh manusia dan trotoar jalan.

   Entah mengapa Soonyoung merasa begitu lega melihat Jihoon dapat berdiri kembali. Jihoon terlihat menarik lengan gadis yang tadi mendorongnya lalu memutar lengannya cepat dan di dorongnya hingga ke pohon terdekat, membuat gadis itu meringis sakit. Jihoon nampak membisikkan sesuatu tapi gadis di kungkungan Jihoon nampak tidak ingin menuruti Jihoon.

   "Kau hanya perlu mengatakan maaf! Kenapa susah sekali, huh?" Jihoon berteriak dengan menendang lutut gadis itu dari belakang hingga terjatuh berlutut didepan Jihoon.

   Laki-laki yang menyelematkan Jihoon tadi nampak mendekati lalu menjauhkan Jihoon dari gadis yang sedang berlutut itu. Mengucapkan beberapa patah kata yang tidak dapat Soonyoung dengar lalu mengajak Jihoon beranjak darisana meninggalkan segerombolan gadis yang sedang menenangkan tangis temannya. Gadis yang sedang berlutut.
.
.
.

    "Kau tak apa?" Jihoon menganggukkan kepalanya mantap.  "Ah kenalkan, aku park Chanyeol. Panggil Chanyeol saja tak apa"

   "Terimakasih banyak" pria tinggi itu tersenyum manis dengan menganggukkan kepalanya cepat. Ia merasa tertarik dengan gadis SMU didepannya ini. Nampak dingin namun menggemaskan di saat bersamaan.

   "Ini" pria tinggi itu mengeluarkan kartu namanya. "Kau bisa menghubungiku jika kau butuh bantuan. Kau bisa memanggilku oppa jika kau mau" alis Jihoon mengerut. Pria didepannya ini terlalu sok akrab, membuatnya curiga.

Park Chanyeol - 99967823740
Deptartemen of Composing
School of Music
Korean National University of Art

   Setelahnya lelaki itu mengusap puncak kepala Jihoon sebentar lalu pergi begitu saja.

   "Aku pergi dulu, Bye!!!"

   Manik hitam Jihoon meredup. Universitas dan segala hal yang tertera di kartu nama itu adalah impiannya. Impian yang kini tidak mungkin bisa ia raih. Ia dipaksa untuk melupakan mimpinya.
.
.
.

Mask (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang