4

1.8K 280 4
                                    

    Seperti yang Jihoon perkirakan kemarin. Hari ini ia nampak lebih pucat, serta sakit kepala yang melandanya membuat Jihoon memilih untuk langsung kekelasnya dan tidur tanpa harus membersihkan loker dari sampah tidak berguna seperti kemarin-kemarin, lagipula loker itu sudah tidak pernah ia gunakan. Pulang sekolah nanti ia harus menyiapkan olimpiadenya kembali. Mungkin tidak lama lagi ia akan masuk karantina. Dan saat-saat seperti itu lah yang paling ia nantikan. Jihoon tidak perlu bertemu dengan orang-orang yang tida penting seperti Eunbi, Soonyoung, dan ibu tiriya. Tiga hari lagi ia akan tinggal diapartemen miliknya sendiri, menenangkan diri.
.
.
.

    Hari ini Jihoon sedikit kehilangan fokusnya saat pelajaran dimulai. Matanya tiba-tiba berkunang begitu saja, bersyukur waktu istirahat segera tiba. Ia berusaha mengisi energinya kembali. Makan, lalu meminum obat yang ada di ruang kesehatan sekolahnya. Berbaring hingga waktu istirahat habis.

   Tapi sepertinya Tuhan memang belum mengizikan Jihoon tenang barang sehari saja. Saat pulang sekolah didekat gerbang sana Eunbi dan teman-temannya nampak menanti kedatangannya. Jihoon memutar bola matanya malas. Tanpa peduli Jihoon melanjutkan langkahnya.

   "Jihoon noona!" lelaki tampan dengan hidung mancung itu berlari menghampiri Jihoon dengan lembaran-lembaran kertas ditanganya. "Noona! Aku butuh bantuanmu! Boleh ya noona? Please!!" sebelah alis Jihoon terangkat, pertanda ia setuju membantu dan menanyakan apa yang dapat ia bantu.

   "Aku dipercaya dalam pembuatan soundtrack opera pentas akhir tahun, bisakah noona membantuku?" kali ini Jihoon memberikan atensinya penuh. "Noona hanya membantuku saja, lebih tepatnya mengawasiku dan memberikan pendapat mengenai lagu-lagu yang akan aku buat untuk opera itu. Bagaimana?" bibir lelaki itu digigit gugup, berharap Jihoon memenuhi keinginannya. Karena bagaimanapun saat ini hanya Jihoon harapannya. Gadis kakak tingkatnya itu benar-benar yang terbaik dalam urusan seni musik, lagi pula Jihoon adalah senior yang baik. Gadis itu tidak segan untuk membantu dan mengajari para juniornya tentang musik. Maka dari itu sebenarnya banyak murid kelas 1 atau 2 dari ekstrakulikuler musik yang menyukainya. Hanya saja memang kepribadian Jihoon yang pendiam dan sedikit menjaga jarak hingga mereka sungkan untuk mendekat.

   "Baiklah Seokmin. Kapan?" senyuman lebar terpatri diwajah Lee Seokmin. Ia genggam erat tangan Jihoon sebagai wujud terimakasih.

   "Ah terimakasih banyak noona. Itu.. Mulai lusa aku dan yang lain akan mengonsep operanya dan aku akan mencoba membuatnya. Mungkin senin nanti aku akan kembali menghubungi noona untuk meminta pendapat. Bagaimana noona?" senyum itu seakan menular, Jihoon tersenyum tipis melihat Seokmin berbicara gugup dan excited.

   "Sabtu saja bagaimana? Aku senin sudah masuk karantina untuk olimpiade" dengan segera Seokmin menirukan gaya hormat ala militer.

   "Siap noona! Laksanakan! Ah GOMAWO NOONA!!!" teriak Seokmin sambil berlari menjauh. Jihoon menggelengkan kepala melihat tingkat juniornya. Setidaknya ia masih memiliki orang-orang seperti Seokmin disekitarnya. Saat ia melihat ke gerbang lagi, Eunbi dan kawanannya telah menghilang. 'syukurlah, tenagaku tidak akam terbuang sia-sia'

.
.
.

   'Tidakkah aku bisa istirahat sebentar saja?' keluh Jihoon dalam hati. Setibanya dirumah pun sang ayah dan ibu tirinya telah menunggu dirinya hanya untuk memastikan pada sabtu malam Jihoon datang ke acara makan malam bersama rekan kerja ayahnya.

   Jihoon duduk ditepi ranjangnya dengan hati penuh emosi. Orang-orang itu sungguh menguji kesabarannya. Padahal ia hanya ingin hidup tenang. Pergi sekolah, bersama teman, lulus dengan nilai bagus, melanjutkan ke studi impian yaitu musik, dan lain-lainnya.

   "Heuh, sial!"
.
.
.

Sesuai dengan janjinya, saat ini Jihoon sedang membantu Seokmin menyelesaikan pekerjaannya. Ia hanya berdiam dikursi putar belakang Seokmin dan memperhatikan Seokmin yang terus berbicara dan menunjukkan ini itu demi tugasnya. Rasa lelah tengah dideranya akhir-akhirnya. Sepertinya ia terlalu berlebihan memforsir dirinya dalam seminggu terakhir. Apalagi ia sudah tinggal sendiri di apartemennya demi sebuah ketenangan, tapi itu justru membuat pola makannya rusak karena tidak ada maid yang mengingatkannya. Katakanlah ia manja, tapi Jihoon memang bukan orang peduli pada dirinya sendiri. Itu lah yang membuat ibu Jihoon khawatir dulu.

   Pagi tadi dirinya sudah diteror telfon oleh sang ayah untuk datang ke acara makan malam itu. Tapi tentu saja dirinya menolak keras. Jihoon tidak mau datang dan tidak akan pernah datang, toh itu tidak penting untuknya.

   "Noona, apa noona baik-baik saja? Noona terlihat sangat pucat hari ini. Apa noona ingin pulang istirahat saja? Aku antar ya?" Jihoon menggelengkan kepalanya pelan. Mencoba menghilangkan pusing yang mendera. Tapi sepertinya memang pulang dan beristirahat adalah pilihan yang tepat.

  "Tidak perlu Seokmin-ah, aku akan pulang sendiri. Telfon aku jika kau perlu sesuatu oke. Jangan lupa istirahat" ucapnya sebelum pulang.

   Ini tidak baik, Jihoon merasa dirinya memang butuh istirahat. Dan kali ini ia akan kembali absen dalam acara ayahnya. Toh dia tidak akan dianggap.

.
.
.

   Soonyoung menunggu didepan gerbang depan emosi yang sudah membara. Sudah 3 hari ini Jihoon tidak bisa dihubungi dan segala rencananya rusak karena gadis itu, apalagi senin kemarin gadis itu ikut absen dan tidak ada kabar apapun.

    Dari kejauhan Soonyoung melihat Jihoon datang. Sontak Soonyoung menghampiri dengan emosi. Ditariknya pergelangan tangan kanan Jihoon dan dihempaskannya begitu saja diparkiran mobil yang sepi.

   "Apa kau puas?" tidak ada jawaban untuk desisan Soonyoung. "Kau kembali menghancurkan rencanaku! Kau menghilang begitu saja! Apa kau berubah menjadi pengecut?"

  "Bukan urusanmu" Jihoon menekan tiap kata dengan menatap manik sipit Soonyoung.

   "Kau urusanku jika kau lupa"

   "Kau hanya terpaksa jika kau lupa"

   "Tentu saja, kau kira siapa yang mau peduli padamu?" senyum remeh Jihoon terima. Manik hitam itu ia alihkan, tak ingin menatap Soonyoung. Ucapan itu membuat setitik perasaan sakit tiba-tiba muncul dihatinya.

  "Brengsek! Sialan!"

  "Jaga ucapanmu" Soonyoung mencengkram kuat rahang Jihoon. "Lain kali jadilah gadis yang patuh Jihoon. Jangan jadi gadis pembangkang. Aku tidak suka itu" bisiknya pada Jihoon. Setelahnya ia pergi meninggalkan Jihoon yang mengusap rahang bawahnya dengan telapak kirinya. Ada plester kecil dipunggung tangan mungil itu yang jika Soonyoung peka itulah alasan mengapa beberapa hari ini Jihoon menghilang.

Mask (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang