Dingin menusuk kulit putih Sania. Tapi meski begitu, dia tidak peduli. Ditambah bajunya yang sampai siku dan jeans selutut akan menambah lagi kesan dingin. Yang ingin dia lakukan sekarang, menjauh dari rumah. Menjauh dari Bu Cinta, Mamahnya.
Mulutnya menghela kasar sambil memijat pelipisnya pelan. Rambut abu-abunya menjuntai menutupi seluruh wajahnya ketika dia menunduk. Dia ingin menangis. Ya, Sania menangis sekarang.
Isak tangisnya terus keluar sampai semakin keras. Bahkan yang berlalu lalang hanya menatapnya heran. Toh Sania pun tak peduli jadi pusat perhatian di tengah taman kota seperti ini.
"Gue benci semuanya!" lirihnya pelan. Tangan lembutnya mencoba mengusap air matanya, walau ujungnya pasti akan jatuh lagi.
"Kenapa kalian egois? Pernah gak sih mikirin Sa?" Lagi-lagi Sania terisak. Kini dia mengangkat kedua kakinya ke atas kursi besi itu, memeluk lututnya terus menangis.
"Hiks ... Papah jahat! Hikss ...."
Ayolah, Sania tidak sekuat dirinya ketika nakal. Dia nakal pun ada sebabnya.
"Sa ...."
Sania tak berhenti menangis, dia malah mengeratkan pelukan lututnya. Dia tidak mau ada yang melihat dia menangis.
"Sania." Terasa kepalanya diusap beberapa kali, dia juga yakin orang itu memanggil namanya. "Sa ...."
Sania mulai mendongak, dia tau siapa pelakunya. Tama Agung Putra. Tama sedikit terkejut, dia langsung berjongkok di depan Sania.
"Sesakit apa hati lo sampe buat air mata berharga lo jatuh?"
Tanpa babibu, Sania langsung memeluk leher Tama begitu erat. Dia kembali menangis, namun sekarang suara tangisnya terendam oleh bahu Tama. Tama mengusap punggung Sania perlahan, mencoba menenangkan keadaan gadis itu.
"Lo gak perlu cerita, tangis lo aja udah menjawab semuanya bahwa lo gak baik-baik aja."
Sania mulai melepas pelukannya, namun sesegukan itu belum sepenuhnya hilang. Dia menatap Tama yang begitu santai dan datar itu.
"Udah nangisnya? Masih butuh bahu gue gak? Atau pelukan lagi?"
Sania menonjok bahu Tama pelan sambil terkekeh. Meski wajahnya sudah tak karuan karna air mata da keringat, dia masih bisa memasang tawa palsu.
"Gitu dong." Tama tersenyum kecil, lalu mengacak rambut Sania. Ingat, hanya senyum kecil.
"Pulang, gue anter." Tama beranjak berdiri, memasukan kedua tangannya ke saku celana. Sania menurunkan kedua kakinya lalu menggeleng pelan.
"Gue gak mau pulang. Dan satu hal lagi, gue masih gak terima buat jadi pacar lo," ujar Sania begitu sinis. Dia sampai lupa apa yang dia lakukan barusan pada pria di depannya ini. Tama hanya mengendikan bahunya.
"Terserah." Setelah itu Tama pergi begitu saja. Sania yang melihat itu mendengkus, apa mau si datar ini?
Sania kembali melamun, namun ingatannya kembali ke beberapa menit yang lalu. Pelukan itu.
"Astaga, memalukan!"
~_~
Kunci mobil bergantungkan boneka teddy bear diletakan di atas nakas. Sepatunya dilempar begitu saja olehnya, kemudian membuka kaos oblong yang membuatnya merasa gerah. Setelah merasa nyaman, baru dia merebahkan tubuhnya di atas kasur.
"Eungh ... nyamannya."
Baru saja Tama akan memejamkan matanya, dia ingat akan kejadian tadi. Dia merubah posisi telungkupnya menjadi menatap langit-langit kamar.
"Gue baru tau, Sania bisa nangis juga."
Ya, bukan hal yang pernah Tama lihat ketika sosok wanita yang selalu berulah di sekolah itu menangis. Bahkan dia berpikir tidak pernah melihat Sania menghilangkan tawa dari wajahnya.
"Udahlah ... ngapain gue mikirin dia."
Dia kembali menelungkupkan tubuhnya, merasakan kehangatan selimut. Lalu alam mimpi menjemputnya.
~-~
Koridor yang sedikit ramai Sania lewati dengan santai. Dia bukan sengaja datang siang, melainkan karena memang kesiangan. Tadi malam jam 3 dia baru tidur. Sampai sekarang dia memakai kaca mata minusnya agar mata pandanya tidak terekspos.
Dia memasuki kelas 11 IPS 4 yang sudah ramai entah karna apa, Sania tidak peduli. Dia memilih untuk melanjutkan tidurnya yang terputus. Tak lama, dia mulai terlelap.
"Sa! Bangun Sa!" Teriakan itu membuat Sania terbangun dengan cepat. Namun sedetik berikutnya, dia melempar tasnya tepat mengenai wajah temannya itu.
"Duch ... sakit idung gue," balas temannya sambil kembali melempar tas Sania. Sania tidak peduli dan kembali menelungkupkan wajahnya.
"Ih Sania, jangan tidur lagi! Gue mau cerita."
"Astaga, diem Popi. Gue ngantuk banget."
"Dengerin dulu, ini tentang balapan buat nanti malam." Seketika Sania langsung bangun kembali. "Apa?" tanya dia antusias. Bukan, bukan dia yang akan balapan, tapi dia akan menonton seseorang yang dia idolakan.
"Ck, giliran ini aja lo gercep." Popi memutar bola mata malas, kemudian memalingkan muka. "Ih ... Popi cantik deh. Ayo mau cerita apa?" Sania menopang dagunya siap mendengarkan.
"Jadi gini ...." Popi memelan suaranya, dia sedikit membisikan maksud yang ingin dia ceritakan. "Kucing Mang Jono mati."
Sania mengerut bingung. "Apa hubungannya sama balapan?"
"Gak ada sih." Popi mengangkat kedua bahunya acuh. Sania langsung menoyor kepala Popi.
"Ye, si kutu!"
"Enak aja, rambut gue gak ada kutunua yah," koar Popi seraya merapihkan poni andalannya. Astaga.
"Serah Po, Serah." Sania memilih kembali tidur.
"Ih ... Sania!"
"Apalagi Popi!" kesal Sania. Popi terkekeh pelan.
"Serius ini mah serius."
"Paan?"
"Nanti malem Si Hitam ikutan balapan, gimana? Ikut gak?"
Sania langsung mengangguk antusias. "Pasti!"
"Ok, gue jemput jam 7 bareng sama Cladi."
"Ok. Oh iya, itu anak mana? Tumben jam segini belum nyampe kelas?"
"Palingan lagi godain satpam depan gerbang." Sania kembali menoyor kepala Popi.
"Temen setan lo."
Kemudian keduanya tertawa. Kebahagiaan Sania masih sederhana.
¤¤¤Tbc
nurlaa_ ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Naughty Girl (Terbit)
Teen FictionTELAH TERBIT DI MOMENTOUS PUBLISHER. [Beberapa part dihapus demi kepentingan penerbitan] Sania Andromeda. "Ngintip ah...." Tama Agung Putra. "Sekali lagi lo berani ngintip, lo jadi pacar gue!" 13 November 2019:# 1 Bad Girl ...