30

85K 3.2K 178
                                    

    Cladi menyeruput kuah dari mie yang ia rebus. Kemudian mengecap rasanya sambil berpikir kurang apa. Gadis itu mengangguk seraya berdiri.

    "Udah gaes! Kita makan!" serunya dengan ria. Satu persatu keluar dari tenda, dimulai dari Popi sampai yang terakhir Sania.

  "Uhh, enak!" puji Sania. Padahal hanya mie rebus, tapi jika dinikmati dengan suasana malam penuh bintang di puncak bersama teman bukankah lebih nikmat rasanya?

  "Masa sih? Punya gue biasa aja." Popi langsung mendapat ketukan sendok di kepalanya dari Cladi. "Aduh, apaan sih lo?!"

  "Ngeledek! Mentang-mentang gue cuman bisa masak mie rebus."

  Sania tertawa renyah, terkadang kelakuan konyol seorang teman menjadi hal yang paling lucu di dunia.

  "Sa?"

  "Heung?" Sania yang masih tertawa hanya bergumam.
 
  "Lucu."

  Semua langsung hening mendengar gumaman Rizal. Setelah beberapa detik baru cowok itu gelagapan sendiri.

  "Ya ... kalian lucu."

  "Oohhhh, hahaha, tau aja lo Zal!" Cladi mencairkan lagi suasana mereka dengan tawanya. Sementara Sania memilih memakan mienya dalam diam. Pikirannya kembali berkelana tentang cowok yang sekarang duduk di sampingnya.

  "Sa, Tama kok gak ikut?"

  "Uhuk!" Sania langsung tersedak mendengar pertanyaan Popi. Cepat-cepat wanita itu berlari menuju tenda. Alasan tadi dia keluar tenda lama karena sedang berusaha menghubungi cowok yang berada jauh di apartemen ibu kota.

  Sania mengecek ponselnya, apakah ada balasan atau tidak. Ada! Sungguh senang hati wanita itu.

Tama :

Aman

   Bibir Sania berkedut kesal. Bayangkan saja, Sania sudah menyepam lebih dari dua puluh pesan hanya dijawab lima huruf satu kata, aman. Dengan kesal wanita itu melempar ponselnya ke dalam tas.

  "Bodo amat, dasar suami ngeselin!" umpatnya marah.

  Sania kembali keluar tenda dengan wajah yang kesal. Ketiga temannya ikut bingung sendiri. Wanita itu melewati makanan dan api unggun, terus berjalan sampai bukit kecil untuk melihat pemandangan. Sania duduk sendiri di situ, melempar batu kecil dengan geram.

  Rizal yang melihat itu ikut beranjak, menghampiri wanita berambut abu-abu itu. Sania terus melempar batunya meski Rizal sudah duduk di sampingnya.

  "Kasian batunya," celetuk Rizal.

  "Apanya?" tanya Sania walau terdengar seperti sengitan. Mungkin karena sedang kesal jadi mempengaruhi nada bicaranya.

  "Kasian batunya lo lempar gitu, pasti kesakitan. Dih, jahat lo."

  "Ish!" Sania meninju bahu cowok itu. "Aduh, sakit Sa. Jangan galak-galak dong, nanti makin cantik."

  "Gombal!" Bibir Sania sedikit terangkat, walau begitu dia tetap melempar batu melampiaskan kekesalannya.

  "Dari pada lo lempar gak jelas gitu, mending lo liat ke sana." Rizal menunjuk ke depan. Lampu perumahan menyala seperti bintang di bumi. Sania ikut menatapnya.

  "Keren, 'kan?" Sania mengangguk singkat sambil tersenyum tipis.

  "Nah gitu dong, senyum." Rizal mengusak kepala Sania, membuat rambut abu-abu Sania sedikit berantakan. Sania membuang mukanya menahan rona panas di pipinya. Itu selalu terjadi jika Rizal menyentuh rambutnya.

Naughty Girl (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang