Bab 19

87.1K 3.7K 54
                                    


 
  
    "Ambil, Sa!"

  Tangannya mengambil ponsel android itu. Dia menempelkannya ke telinga.

  "Ha–hallo."

  "Sania? Kamu itu, kenapa ponselnya mati? Tama juga, gak angkat telponnya. Kalian gak papa 'kan?"

  Sania menganga bingung. Ponselnya memang mati sejak kemarin, dan soal Tama yang tak mengangkatnya, dia kan baru bangun bersama Sania. Bagaimana menjelaskannya?

  "Eu ... gak papa kok, Mah. Ponsel Sa lowbat, Tama juga lagi sibuk."

  Senyap seketika, hati Sania berdebar tak enak.

  "Mah?"

  "Soal minggu depan ... kamu sudah siap-siap?"

  Gadis itu menunduk, meremas tangannya sendiri. "Soal itu ...."

  Tama merebut ponselnya membuat Sania kaget luar biasa. Sania berniat mengambilnya lagi, tapi Tama menahan dahi Sania dengan telapak tangannya.

  "Halo, Mah."

  "Tama, gimana kabarnya?"

  "Baik kok, Mah."

  "Sa gak nakal, 'kan?"

  Tama duduk di samping Sania yang kepo ingin mendengarkan. "Nakal Mah, minta Tama hukum."

  Sania memutar bola matanya jengah. Nakal apa coba?

  "Oh iya, Mamah mau bahas pindahan Sa ke Eropa."

   Tama berdeham pelan. "Sebelumnya Tama mohon maaf, Mah. Tapi Tama gak izinin Sania pergi."

  "Gi–gimana?"

   Secara tiba-tiba Tama menggenggam tangan Sania, tersenyum menenangkan.

  "Tama minta izin, bulan depan Tama nikahin Sania."

  Hening, di sebrang sana terdiam membeku. Begitu juga Sania. Tatapan matanya bertemu dengan manik dingin Tama. Manik yang selalu ia takuti itu. Tangannya terulur, membawa Sania ke dekapannya. Ia tau, gadis itu menyembunyikan ketakutannya.

  "Demi Tuhan!" Tama menjauhkan ponselnya, kupingnya sakit mendengar suara melengking itu. "Kamu serius Tama? Anak gadis Mamah itu."

  "Tama serius, Mah."
  
  "Hahaha, iya iya, Mamah percaya, lagian Mamah 'kan udah restuin kalian di hari pertunangan waktu itu. Tapi Mamah gak bisa pulang sekarang buat bantu siapin."

   "Gak perlu, Mah. Tama bisa urus semua. Mamah fokus dulu di sana."

  "Terima kasih, ya Tama."

  "Harusnya Tama yang berterima kasih, udah lahirin manusia seperti Sania."

  Sania diam-diam tersenyum dalam dekapan itu. Sespesial itukah dirinya?

  "Kamu itu, ya udah Mamah tutup, ya?"

  "Iya, Mah." Sambungan terputus. Tama menaikan satu alisnya bangga.

"Aww!"  Sania langsung menjewer Tama menyakitkan. "Ini balesan lo? Duh! Istri durhaka lo!" erang Tama mencoba melepas jeweran keras Sania.

  "Belum jadi! Pede banget si lo!" sengit Sania. "Lagian lo mau ngasih gue apa dengan status masih pelajar gini, huh?!"

  Mendengar itu, Tama tak terima. Dia mengerahkan kekuatannya mendorong Sania sampai ia berada di posisi yang ambigu. Sania yang berada di bawah tindihan Tama memasang wajah waspada.

  "Mau apa lo?"

  "Yakin lo mau tau status gue?" tanya Tama dengan suara beratnya.

  "Si anying! Apa-apaan suaranya!"

  Melihat wajah Sania, Tama kembali bangkit, turun dari kasur segera memakai baju yang lebih layak dilihat. Sementara Sania masih di posisinya, dia selalu kaget dengan sikap Tama yang berubah-ubah.

  "Laper gak?" tanya Tama. Sania tersadar dan langsung bangkit duduk. "Bantuin gue masak."

  "Kalo mau gosong si, ayo."

  Tama menggeleng jengah. "Mau makan apa gue nanti?"

  "Sial! Balikin keadaan, heh?"

  Sania turun, mengikuti Tama yang sudah keluar kamar lebih dulu. Di dapur, Tama sudah menyiapkan bahannya, cepat ternyata.

  "Gue bantu apa?" tanya Sania tepat di samping Tama yang sibuk dengan kemasan Fasta.

  "Do'a. Gue gak mau Fasta gosong."

  Bibir Sania berkedut kesal. Kuat nggak gue punya suami kek dia? - Sania.

  "Ya udah." Sania duduk di atas bar mini di dapurnya. Menatap punggung tegap Tama. Entah kenapa, melihatnya lebih lekat, Sania merasa aneh.

  "Ini kok keliatan ganteng? Seksi banget itu tangannya! Eh! Mukannya juga, astaga! Kok gue baru ngeh dia keren?"

  Sania menggigit bibir ranumnya, meneguk ludah susah payah. Berabe ini, Tama berdampak buruk pada pikiran kotor Sania.

  Tiba-tiba Tama membalik, menatap Sania yang dalam keadaan, terpesona mungkin? Tama menautkan alisnya, kenapa dengan gadis itu?

  "Sa?"

  "Kutil badak!!" kaget Sania.

  "Ngelamun lagi?" tanya Tama seraya kembali berbalik. Sania meruntuki hatinya, dasar pikiran kotor pikirnya.

  "Besok pulang sekolah ikut gue."

  "Kemana?"

  "Ikut aja."

  Oke, Sania sudah terbiasa dengan sikap Tama yang pemaksa.

  "Eh, tapi kita gak sekolah dua hari, loh. Gue sih adem anyem karna trouble maker, lah elo, KetOs."

  "Terus?" tanya Tama santai.

  "Yaa, lo gak takut reputasi lo turun gitu?"

  Terdengar Tama terkekeh pelan. "KetOs juga ada yang nakal, Sa."

  "Masa?"

  "Gue salah satunya."

  "Lo nakal? Fftt ...." tanya Sania menahan tawa. "Nakal mesum iya!!"

  "Ngatain diri sendiri?"

  "Idih, gue bukan mesum, tapi nikmatin karya Tuhan. Udah gue bilangin ju–" ucapan Sania terputus saat Tama meletakan telunjuknya di bibir Sania. Tunggu? Kapan dia mendekat?

  Tama mendekatkan wajahnya perlahan, detik demi detik. Sania berusaha mundur seiring wajah Tama mendekat. Tumpuan tangan Sania sampai berada di ujung, tak bagus jika dia terjungkal dari bar setinggi pinggang itu.

"KYA!!"  Tepat sedikit lagi hidung mereka bertemu, Sania terlampaui ujung bar dan hampir terjengkang. Dengan sigap Tama menangkap pinggang Sania dan Sania ikut refleks memeluk leher Tama karna kaget.

  Tatapan mereka bertemu. Tama menyelipkan anak rambut Sania ke belakang telinganya, mengelus pipi Sania pelan. Sania? Hatinya kalang kabut ingin meledak!

  Cup

  Tidak, Tama mencium telapak tangannya sendiri yang menempel di pipi Sania. Tama menjauh, membiarkan Sania mencerna otaknya lagi

  "Gue gak akan ambil hak gue sebelum nikah."

 
~_~

A/n

Hiyahiyahiya, baper gak digituin Tama? Author si mau digituin.

  So, thanks for reading!

nurlaa_ ❤

 

 

 

 

Naughty Girl (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang