"Iya, kalau dia berulah lagi pasti akan ku beri tau."
Sania mendengarkan semua percakapan itu sejak awal. Memang tadinya dia hanya ingin mengambil botol air dingin, namun saat mendengar suara samar dari kamar mamahnya, Bu Cinta, dia langsung berdiri di sana cukup lama. Katakanlah dia menguping.
Senyum Sania terbit. Lebih tepatnya senyum kecut. Dia berjalan menuju kamarnya yang tak jauh dari sana, menutup pintunya sampai berbunyi keras. Tak peduli akan rusak atau apa, dia langsung saja mengunci dengan rapat. Botol yang tadi ada di tangannya dilempar begitu saja sampai botol itu bocor dan membuat airnya kemana-mana.
"Bodoh! Stupid! Lo cuman anak bodoh!" umpat Sania pada dirinya sendiri.
Dia mengambil satu jaket, lalu memakainya dengan cepat sambil berjalan menuju pintu balkon. Tau apa yang ia lakukan setelah itu? Dia lompat, tentu saja. Tapi bukan bunuh diri, dia sudah biasa melakukan adegan itu.
Setelah mendarat dengan sempurna, dia berlari ke jalan utama dan keluar dari pekarangan. Berlari sejauh mungkin agar melupakan percakapan tadi. Sesekali dia mengusap pipinya yang basah karna air mata. Pandangannya memburam, air mata itu menganggu penglihatannya di malam hari ini.
Bugh
Lagi-lagi Sania tersungkur. Luka di lututnya yang sudah mengering terbuka kembali. Bayangkan saja rasanya, perih bukan. Sania tidak peduli, dia hanya ingin berlari. Sampai dia berada di keramaian orang-orang yang berlalu lalang di trotoar khusus pejalan kaki.
Bugh
Hampir saja dia kembali menyium lantai kasar itu sebelum sebuah tangan menahan pinggangnya dan sedikit menariknya sampai jarak mereka hampir terputus. Deru napas cepatnya beradu dengan napas orang itu yang terasa santai di wajah Sania.
Sania menatap wajah itu lekat. Entah kenapa, rasa lega menjalar di seluruh angannya.
"Sa ...."
"Tama." Lirih Sania. Tangan Tama hampir terlepas, tapi kalah cepat dengan kedua tangan Sania yang sudah melingkar di pinggangnya.
"Bawa gue pergi," lirih Sania, sesekali dia sesegukan karna tangisnya.
Tama yang masih bingung langsung saja mengangguk.
~_~
Tama membawa gadis itu ke dalam mobil. Saat ini dia tengah menatap Sania yang tertidur di kursi tepat di sampingnya. Mungkin lelah pikirnya. Karna sejak dia membawa ke situ, Sania tidak berhenti menangis. Mungkin lebih dari satu jam dia berada di posisi bingung harus apa.
Tangan Tama mengambil sesuatu di dashboard, sebuah hansaplas. Ia tempelkan di pergelangan Sania yang sedikit tergores, kemudian tatapannya beralih pada lutut Sania yang memperlihatkan darah mengering. Celana pendek itu pasti tidak melindungi lutut Sania saat tersungkur tadi.
"Suka banget nyakitin diri sendiri," gumamnya.
Tama menggeleng kemudian mengambil satu buah plastik dari jok belakang. Tadi dia habis dari supermarket karna lapar, namun tanpa diduga bertemu Sania.
Sambil memakan makanan ringannya, Tama memeriksa ponselnya. Ada banyak panggilan tak terjawab dari seseorang yang ia sayangi. Dia mengumpat sendiri, sampai lupa akan hal itu.
Dia kembali menaruh ponselnya. Menatap Sania sebentara kemudian menyalakan mesin mobil.
"Gak ada pilihan lain."
~_~
Sania sedikit mengeliat saat sudah membuka matanya lebar. Dia sedikit menggaruk belakang kepalanya sambil menguap. Tatapannya menyusuri seluruh sudut ruangan. Ada yang aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naughty Girl (Terbit)
Teen FictionTELAH TERBIT DI MOMENTOUS PUBLISHER. [Beberapa part dihapus demi kepentingan penerbitan] Sania Andromeda. "Ngintip ah...." Tama Agung Putra. "Sekali lagi lo berani ngintip, lo jadi pacar gue!" 13 November 2019:# 1 Bad Girl ...