Suara rintihan tertahan tersebut terdengar memilukan bagi siapapun yang mendengar. Di ruangan gelap yang selalu menjadi tempat langganannya, seorang gadis tersungkur tak berdaya dengan baju dipenuhi cairan berwarna merah.
Sedangkan, sosok pria tua yang tadi bermain dengannya nampak menyeringai puas. Merasa segala macam amarahnya telah tersampaikan hanya dengan mendengar ringisan, jeritan maupun rintihan kesakitan putrinya sendiri.
Abia, gadis malang itu dipanggil. Bernama lengkap Abia Felicia Almetta. Gadis malang yang hadirnya tak pernah diharapkan. Sedari berumur 12 tahun, ia sudah cukup terbiasa dengan siksaan seperti ini dari sang Ayah.
Dikecam sebagai aib keluarga karena memiliki kemampuan menangkap pelajaran di bawah rata-rata keluarganya membuat Abia terbiasa diasingkan. Ditambah lagi kehadirannya sebagai seorang perempuan membuat Ayahnya lagi-lagi tak bisa berhenti menyalahkan.
"Bangun kamu! Jangan cengeng gitu! Baru beberapa menit saya main kamu sudah lengah gitu aja." Ayah Abia psycopath? Mungkin benar.
Bahkan melihat Abia yang hampir kehilangan kesadaran tak mampu membuat hati bekunya sedikit pun merasa kasihan. Sedangkan Abia, hanya bisa terdiam karena merasa tenaganya sudah habis terkuras. Bahkan untuk sekedar mengucap barang sepatah kata pun ia tak mampu.
Sampai kapan harus seperti ini?
Pertanyaan itu mungkin tak akan pernah lelah untuk gadis itu pertanyakan.
"Ampun, Ayah." Bibir bergetar gadis itu mengucap penuh permohonan. Merasa tak sanggup lagi untuk satu cambukan atau tamparan lagi.
"Ampun kamu bilang?! Kan saya sudah bilang, kalau enggak mau kayak gini, minimal nilai rapor kamu enggak remidial satu pun. Tapi kamu enggak pernah enggak bikin saya kecewa!" Bisma--Ayah Abia, berteriak kalap.
"Biya udah belajar, Yah. Tapi kemampuan Biya cuma sampai situ." Abia mencoba memberi pemahaman.
"Kamunya aja yang malas belajar! Enggak liat Kakak kamu?! Dia itu belajar sedikit aja nilainya sangat memuaskan. Kamu itu seharusnya sadar diri! Kemampuan kamu enggak sama kayak dia, jadi kamu harus belajar lebih giat dari dia."
Nyeri.
Dada Abia berdenyut ngilu. Bukan karena sakit di tubuhnya. Tapi kalimat sarkastik sang Ayah yang tepat menghujam jantungnya.
"Maaf, Ayah." Lagi-lagi, Abia hanya mampu mengatakan hal tersebut.
"Maaf saja kamu bisanya! Sudahlah, saya muak liat muka kamu. Buktikan maaf kamu semester depan saja dengan nilai memuaskan. Biar saya enggak perlu main tangan lagi."
Ditendangnya tubuh Abia tak berperasaan kemudian keluar dari ruangan gelap itu. Kaki Bisma bergerak menuruni tangga dan menemukan Istrinya di ujung tangga yang memandang takut.
"M-mas ... aku boleh obatin Abia?" Monica--Mama Abia, bertanya penuh ketakutan.
"Obati saja sana putri cengengmu itu!" Bisma menjawab ketus yang mampu membuat Monica tersenyum senang.
Setidaknya, jika tak bisa melindungi Abia dari luka, ia bisa sekedar mengobati luka gadis itu.
****
Abia mendengar suara pintu terbuka. Tapi, ia masih setia pada posisinya. Bukan karena tak ingin melihat siapa yang masuk. Tapi tenaganya terlampau menipis untuk sekedar menoleh atau berubah posisi.
"Ya Ampun, Abia!" Itu suara Mama-nya. Abia sedikit mengulas senyum. Setidaknya ada Mamanya yang akan selalu mengulurkan tangan ketika ia terjatuh.
"Maafin Mama, Sayang. Mama nggak bisa nyegah Papa kamu kalau dia lagi kalap. Mama enggak pernah becus jadi Mama kamu." Monica mendekat dan membantu Abia untuk duduk.
Abia hanya tersenyum tipis meski rasanya sulit. Dengan tangan bergetar, dihapusnya air mata sang Mama yang meluncur di daratan pipi.
"Biya yang salah, Ma. Biya yang enggak pernah bisa ngebanggain Mama dan Papa."
Monica hanya diam. Memilih merangkul tangan Abia dan membantunya berdiri. "Kamu bisa berdiri?" Monica bertanya lembut.
"Enggak bisa, Ma," adu Abia sembari merintih karena merasakan pergelangan kakinya yang nyeri. Tadi, ia sempat terkilir oleh dorongan keras Bisma.
"Kaki kamu kenapa bisa gini?" Monica berucap panik sembari memegang pergelangan kaki Abia.
"Nggak usah dipegang, Ma. Sakit!" Abia meringis kesakitan. Monica menghentikan kegiatannya.
"Maaf, Sayang." Abia membalas dengan anggukan lemah. Setelahnya, sang Mama merangkul Abia menuju kamarnya yang bersebelahan dengan gudang yang tadi ia singgahi.
Monica memandang penuh khawatir sang putri. Selanjutnya mengeluarkan benda berlayar pipih dari saku pakaian.
Kakinya melangkah menuju balkon yang terbuka. Ia menelpon dokter pribadi keluarganya. Mengingat keadaan Abia yang memprihatinkan.
"Hallo ... Cintya, cepat datang sekarang!"
"...."
"Iya, dia kena amuk Mas Bisma," sahut Monica jujur.
"...."
"Oke, cepetan ya!"
Abia memandang raut cemas sang Mama dengan perasaan menghangat. Hanya dengan menatap wajah penuh kasih sayang Monica, Abia mampu lupa sejenak pada setiap rasa sakit di tubuh maupun hatinya.
Namun, beberapa detik setelahnya, matanya kembali memandang sendu sang Mama. Mengingat penyakit yang saat ini mendera tubuhnya membuat Abia takut.
Ia belum memberikan apapun kepada Monica, Bisma ataupun kakaknya---Kaisar. Tapi, apakah secepat itu Tuhan mengambilnya?
Sejauh ini, belum ada yang tahu tentang penyakit Kanker darah atau leukimia limfositik kronis yang dideritanya satu tahun belakangan. Karena ia merasa tak perlu ada yang tahu. Biarkan ia mati secara perlahan. Pikirnya, kelahirannya pun tidak diharapkan. Maka wajar saja kalau hal ini Abia sembunyikan.
Tidak ada yang perlu tahu. Abia sudah terlalu banyak merepotkan orangtuanya sejauh ini.
***
Author's note:
Holaaa~
Ini cerita lama, seriusan ga kuganti apa-apa kecuali edit dikit-dikit kepenulisannya. Lagi seneng aja repost cerita-cerita lamaku yang freak dan lumayan lebay+alay pada masanya. :vTapi gapapa, dipikir-pikir ... NGAPAIN GITU NULIS CERITA CUMA BUAT DISIMPEN DI DRAFT/PUBLISH-UNPUBLISH DOANG? Mau seberapa buruk apapun alur, pembangunan tokoh, teknik penulisan atau apapun menyangkut karyaku di masa lalu, aku lagi berusaha buat menerima hal itu.
Mencintai dan menghargai karya sendiri itu juga termasuk self love, kan? (Yaelah sok bijak:v)
Intinyaaa ... hope u enjoy with my gaje story. See you in next part and happy readiiing~
With Love,
Writergaje23_ 💚.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIA [TAMAT]
Teen Fiction"Izinin gue peluk lo. Ini yang terakhir." *** Sejak beranjak remaja, Abia mulai sadar terlahir bodoh adalah sebuah dosa. Dulu, ia pikir Ayah membencinya karena terlalu sering melakukan kesalahan. Tapi, kenapa setiap Kakaknya melakukan kesalahan, Bis...