Chapter 7| Keputusan Ayah

2.9K 102 1
                                    

"Sejauh ini semesta masih baik-baik saja. Seakan merestui rasa yang seharusnya tak ada. Jika jantung ini berdetak karenamu, maka biarkan kulangitkan doa untukmu."

IN SYAA ALLAH

19.15 WIB

Lita berjalan menuruni tangga rumahnya setelah mendapat panggilan dari Sheila untuk segera turun makan malam. Di ruang makan sudah ada Ismail, Sheila dan juga Revan yang sama-sama memandangi Lita dengan ekspresi berbeda.

"Dek cepet dong, kaka udah laper nih..." rengek Revan. Ismail dan Sheil terkekeh. Lita lantas mempercepat langkahnya seraya berlari menuju meja Revan.

"Ututuutuuuutuuu... Babang udah laper..." goda Lita membuat Revan bergidik ngeri.

"Apa sih pakek manggil babang segala, kan kaka udah pernah bilang jangan panggil Babang, ga keren!" protes Revan sembari membuang wajah. Detik berikutnya mereka berdua sama-sama menatap dengan tatapan membunuh.

Ismail berdecak sebal sambil mengusap wajahnya gusar.

"Udah- udah kalian ini apaan sih, ga baik ribut - ribut di depan rezeki.  Ayo cepet makan, Lita hayo ambilkan kakak kamu nasi," perintah Sheila menengahi.

Lita mengembuskan napasnya berat sambil mengehentakkan kakinya ke lantai. Setelah itu, tangan kanannya langsung menyambar piring dan mengambil nasi untuk Revan-kakaknya.

Makan malam berlangsung tanpa sedikit pun yang berbicara, hanya suara dentingan sendok yang menari di atas piring. Namun, begitulah cara Ismail mengajari buah hatinyanya, ia sangat melarang keras berbicara saat makan.

Setelah ritual makan selesai, Ismail melirik putrinya yang tengah meneguk segelas air.

"Lita, sebentar lagi kamu lulus SMA, Ayah mau kamu berada di pesantren," ucap Ismail lembut tapi terkesan  tegas.

Mendengar penuturan dari sang Ayah, mendadak Lita berdiri dari tempat duduknya dengan napas memburu. Matanya sedikit memanas, dadanya sesak.

"Tapi kan yah, Lita pengen kuliah ga pengen mondok," elak Lita. Revan yang melihat ekspresi sang adik lantas menggenggam tangannya kuat-kuat. Lalu mengisyaratkan agar gadis itu kembali duduk.

Sheila hanya diam tanpa ada niatan ikut campur dengan keputusan sang suami. Karena ia yakin ini pasti yang terbaik.

"Keputusan Ayah sudah Final, dan kamu gak berhak ngelarang Ayah. Kamu itu anak perempuan, gak baik kalau kluyuran di luar tanpa ada pantauan dari orang tua," jelas Ismail tanpa penolakan. Setelah itu,  berlalu meninggalkan meja makan.

Melihat ekspreai Lita  yang seakan frustasi dengan mata berkaca - kaca Sheila lantas beranjak dari temat duduknya dan  menarik Lita dalam pelukannya. Gadis itu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, ia tak kuasa menahan tangis. Tangisannya pecah dalam rengkuhan sang bunda. Revan menatap sang adik iba.

"Sayang.. Bunda tau kamu gak setuju dengan keputusan Ayah, tapi bunda juga gak bisa menolak keinginan Ayah, Nak," tutur Sheila berusaha memberi penjelasan sambil mengelus kepala Lita yang tertutup hijab.

"Tapi bunda hiks... hikss.. Lita pengen Kuliah..hiks hiks.. Lita pengen ngejar impian Lita hiks hiks..."

Detik kemudian, Revan ikut menambahi. Ia melangkahkan kaki mendekati Bunda dan Adikya.

"Dek, kakak ngerti bagaimana prasaan kamu, tapi kamu juga harus nurut sama perintah Ayah. Inget, seorang Ayah gak mungkin membuat keputusan tanpa mempertimbangkan sebelumnya, pasti beliau menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Ayah juga tau dek mana yang terbaik buat kamu dan mana yang nggak," kata Revan. Sheila tersenyum simpul.

IN SYAA ALLAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang