Chapter 22| PPS DARUL FALAH

2.1K 86 0
                                    

"Jika hati telah mati,  apa lah arti kehidupan ini.
Bergelut dengan dusta dan berperawakan dua."

IN SYAA ALLAH





09:00 WIB

Butuh waktu sekitar empat jam empat puluh lima menit  bagi keluarga Ismail untuk bisa menginjakkan kaki di ibu kota. Perjalanan panjang penuh dengan rasa lelah yang menggeluti.

Sesampainya ditempat tujuan, Lita sekeluarga disambut hangat oleh keluarga Kyai Abbas Abdurrahman Assegaf, selaku pengasuh dan pemilik ponpes Darul Falah.

"Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh," sapa Ismail sekeluarga saat turun dari mobil.

"Wa'alaikumus salaam warohmatullahi wabarokatuh," jawab Kyai Abbas sekeluarga tak terkecuali Fatimah, anak bungsu dari keluarga Abbas.

"Masya Allah ini Lita ya?"

Lita tersipu malu saat wanita paruh baya itu mengelus pipinya lembut.

"Wah kamu cantik banget, Nak."

Abbas melirik Ismail lalu meraih tangannya.

"Mari masuk, kita makan dulu kamu pasti laper kan, sehabis perjalanan panjang."

"Kamu itu bisa aja."

Mereka pun menghabiskan waktu bersama sesekali bercanda dan bercerita tentang masal lalu masing- masing. Seusai bercanda ria, Abbas memutuskan untuk mempersilakan tamunya mengisi perut terlebih dahulu.

Mereka makan dengan tenang, hanya terdengar dentuman sendok dan garpu yang menari-nari di atas piring.

"Oh ya, anak kamu yang satunya lagi mana, Bas?"

Begitulah cara Ismail memanggil sahabat karibnya  dengan sebutan nama asli tanpa embel- embel kyai, karena memang itu permintaan Abbas sendiri.

"Mmm dia masih bertugas di Surabaya, in syaa allah lusa baru pulang," jawab Abbas khas dengan senyum di bibir tipisnya yang kian menua.

Setelah itu suasana kembali hening.

"Eh maksud kedatangan kami ke sini seperti yang telah aku beritahu sebelumnya." Jeda sekian detik, Ismail mengulurkan tangannya mengelus pundak Lita yang kebetulan berada di sampingnya. "Kami ingin agar anak kami, Lita bisa menimba ilmu di pesantren ini."

Abbas manggut- manggut, pertanda mengerti. Lita merunduk kala Abbas tiba-tiba menatapnya.

"Kami sangat senang sekali, dengan senang hati kami akan menerima Lita," tambah Salma sembari tersenyum.

"Mmm terima kasih Ibu Nyai."

"Panggil umi saja sayang," ralat Salma yang diangguki oleh Lita.

"I...iya, Umi."

***

Tak terasa matahari  mulai kembali pada peraduannya, cahaya remang-remang dengan semburan warna jingga menyeruak menebar di langit yang mulai dihiasi bintang. Adzan Maghrib pun berkumandang, pertanda waktunya umat muslim untuk melaksanakan kewajibannya.

"Mari kita sholat dulu."

Ismail beserta keluarganya mengangguk setuju. Mereka sudah bersiap dengan peralatan salat masing-masing. Langkah mereka terhenti di sebuah bangunan megah tempat para umat muslim beribadah. Masjid.

IN SYAA ALLAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang