✔Forty-three

3.5K 173 45
                                    


Aroma sedap memenuhi dapur, Alkha tersenyum tipis ketika mie yang baru saja, ia buat, selesai. Alkha melangkah ke meja makan, meletakkan piring berisi mie goreng lengkap dengan telur mata sapi di atas meja.

Cowok berambut dark brown itu langsung menyantap mie buatannya. Sekilas, ia memperhatikan jam dinding, pukul empat sore dan saudaranya belum juga sampai rumah. Padahal sekolah sudah dibubarkan sejak tiga puluh menit yang lalu.

Alkha mendongakkan kepalanya ketika mendengar suara pintu dibanting, tak berapa lama seorang cowok dengan seragam yang tidak lagi rapi dan rambut yang acak-acakan ditambah wajah yang ditekuk, berjalan melewati meja makan lalu mengambil segelas air mineral dari kulkas dua pintu.

Alkha melanjutkan acara makannya. Namun, mata Alkha masih mengawasi saudaranya itu.

“Dari mana, lo?” tanya Alkha saat Alfa sudah duduk di sebelah kursi Alkha.

“Dari situ,” Alfa mengendikkan dagunya menunjuk ke tempat pendingin.

Alkha berdecak, “Kenapa, lo? Pulang-pulang muka lo ditekuk kayak gitu?”

Alfa menggeser piring berisi mie goreng milik Alkha ke hadapannya, tangannya memegang garpu lantas menggulung mie yang ada di piring. Namun, wajahnya masih sama. Datar.

“Gue lagi kesel.” Ketus Alfa seraya memasukkan mie ke dalam mulutnya.

Alkha meneguk minuman yang diambil Alfa dari kulkas dengan alis terangkat karena mendengar ucapan Alfa.

“Kesel kenapa?” tanya Alkha sambil meletakkan gelas yang ia pegang ke tempat semula.

“Intinya gue lagi kesel.” Alfa menusuk-nusuk mie goreng buatan Alkha kesal.

Alkha berdecak melihat tingkah Alfa yang seperti anak kecil, “Cerita sama gue.”

“Males,” ketus Alfa kembali memasukkan gulungan mie ke mulut.

“Alfa, cerita atau lo mau pendem kekesalan lo itu sendiri,” desak Alkha.

Alfa mendesah pelan setelah menelan makanan di mulutnya, “Lo pernah nggak, sih ngelakuin hal yang lo suka tapi, orang lain ngelarang lo lakuin itu?”

Alkha diam beberapa detik, mengingat beberapa hal yang pernah ia lakukan. Hal-hal yang beberapa bulan ini tidak pernah ia lakukan lagi.

Bukan karena tidak diperbolehkan oleh orang lain tapi, karena kemauan Alkha sendiri untuk tidak melakukannya lagi.

“Papa?” tanya Alkha detik berikutnya, seakan tahu siapa yang dimaksud Alfa.

Cowok yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu hanya mengangkat bahunya sesaat sebagai jawaban.

“Kenapa sih, orang tua selalu nuntut anaknya jadi apa yang mereka mau? Gue tau orang tua pasti mengharapkan yang terbaik buat anaknya tapi, kadang harapan mereka nggak sejalan sama keinginan anaknya. Iya, nggak sih?” Alfa menolehkan kepalanya ke arah Alkha.

“Logikanya gini, kita punya satu pohon yang kita rawat bareng-bareng. Mereka lebih fokus sama apa yang nanti pohon itu hasilkan tanpa peduli gimana cara mendapatkan hasil itu, sementara kita di sini fokus buat numbuhin pohon itu sampai besar. Buat apa kita ngelakuin hal yang nggak kita suka? Kenapa kita harus ikutin apa yang mereka mau kalo, kita nggak suka?” tambah Alfa.

Alkha masih diam. Ternyata di balik sikap nakal dan jahil Alfa, pemikiran saudaranya itu serumit ini.

“Lo tau kenapa mereka nuntut kita jadi apa yang mereka mau?” Alkha menatap lekat saudaranya.

“Supaya kita sama kayak mereka? Supaya kita nggak malu-maluin mereka, gitu?” Mata Alfa menyilatkan kemarahan.

“Salah,” tegas Alkha, “mereka, nuntut lo buat jadi seperti yang mereka katakan karena mereka nggak mau lo gagal kayak mereka.”

[TBS 2] : Brother RivalryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang