Damn

1.1K 65 0
                                    

 cek typo gais.


    Kepalaku terasa pusing, aku mencoba membuka mata dan sesuatu dari perutku langsung ingin dikeluarkan. Bergegas aku lari kearah pintu kamar mandi tanpa mengumpulkan nyawa terlebih dahulu.

Hoek...... Hoek...

Aku mengeluarkan isi perutku di wastafel kamar mandi, lalu bersender di dinding terdekat. Aku termangu.

Tunggu...

Kenapa aku bisa tahu dimana letak kamar mandi? Aku menatap penjuru kamar mandi. Desainnya seperti aku kenal. Aku buru buru membersihkan mulutku dengan air dan segera keluar dari sana.

Astaga kenapa bisa aku sampai apartemen pak boss? Bukankah semalam aku bersama Chandra?
Apa aku mengigau?
Apa aku mabuk dan berjalan sampai kesini?

Aku coba mengingat ingat apa yang terjadi semalam, namun nihil aku tak mengingat apa apa. Aku melihat arah jam tanganku.

Dimana jamku?

Baju siapa ini?

Aku baru menyadari kalau baju kantorku sudah berubah menjadi baju kaos kedodoran Sampai lutut. Apa apaan ini?

Aku segera mencari letak jam dinding, disana jam menunjukan angka sepuluh, aku melotot aku telat ngantor. Triple kill, aku tak berani keluar dari sini, disamping ruangan pak boss jika ingin pulang harus melewati ruanganya, walau kecil kemungkinan bertemu tetapi tidak mustahil. Aku mengetuk ngetuk kepala, apa yang aku lakukan ya tuhan, ini sungguh gila. Boss mana lagi yang sabar menghadapi bawahan sepertiku. Sebenarnya apa yang kulakukan semalam?

Aku menatap luar dari dinding kaca. Aku mendekati dinding itu dan menatap kebawah. Aku tertawa sinting membayangkan bahwa aku terjun dari atas sini agar tidak bertemu pak boss . Sinting.  Aku kembali meringis, apa aku akan melewati lobby jika ingin pulang? Rasanya aku ingin menangis saja meratapi nasib buruku pagi ini.

Ceklek.

Pintu terbuka, aku segera berbalik dan waspada. Disana pak boss menatapku datar. Aku menelan ludah kasar, tamat lah riwayatku,bdadah gaji.

Untuk beberapa saat kami saling berpandangan. Tak ada yang angkat bicara, baik aku atau ia saling membisu. Aku bingung ingin berkata apa seolah kamus diotakku berkapasitas digodol maling.

"Ini baju kamu, segera ke ruangan saya setelah selesai" katanya setelah menaruh sesuatu di atas meja dan pergi keluar setelahnya. Aku tak tahu menaggapinya bagaimana, ingin marah tapi tak bisa.
Ingin berterimakasih tapi untuk apa?

Aku berjalan kearah meja dan melihat sepasang baju. Apa ia tahu ukuranku? Aku masih pusing, mungkin dengan cara mandi aku bisa menyegarkan otak, bergegas aku mandi dan memakai baju dari pak boss.

Aku mandang pintu dihadapanku, sekali lagi aku merasa bodoh. Aku bingung ingin berekspresi apa? Memberi senyum terbaik, dengan wajah memelas atau memberi tatapan datar. Dan aku butuh penjelasan tentang apa yang terjadi semalam. Sampai membuatku terdampar di apartemen pak boss.

Aku akan menerima jika dipecat, tetapi aku berharap tidak. Rasanya aku ingin pulang ke devisi keuangan padalah masih dua hari aku jadi sekretaris pak boss.

Aku mengetuk pintu itu setelah menghembuskan napas panjang. Mendengar sahutan dari dalam aku langsung masuk. Aku melihatnya memeriksa dokumen yang aku yakin iti adalah dokumenku yang belum selesai kemarin.

"Bisa kamu jelaskan apa yang terjadi semalam?" katanya dengan dingin, bulu kudukku berdiri seketika.

"Kau meninggalkan perkerjaan hanya untuk mabuk?" aku ingin menyela namun lidahku bagai diikat.

"Dan pergi bersama lelaki?" tanyanya lagi padaku.

"Ma...af pak sepertinya bapak salah pah...am" kenapa aku jadi gugup begini.

"Salah paham apa yang kamu maksud?" bentaknya sambil menggebrak meja, aku beringsut mundur.

"Kalau saya tidak ada disana bagaimana nasibmu HAH" sekali lagi aku mendapat bentakan, aku menundukan kepala sedalam mungkin, kurasakan kakiku gemetaran sungguh ini menakutkan. Terasa sesuatu membasahi wajahku. Sekarang aku mengerti bahwa ia yang membawaku.

"Tapi saya menjeput teman saya yang ada disana pak, kalau bapak berpikir macam macam terhadap saya" kataku serak dengan sekali tarikan napas.

"Apa kamu bertemu dengan temanmu itu?" katanya menaikan satu alis meremehkan, aku terdiam. Dia benar aku tak menemukan Fira disana.

"Tidak, kamu tidak betemu denganya disana, lalu kamu putuskan menghabiskan malam disana begitu'kan" ia mengataknaya dengan gampang, seolah aku sering berkunjung kesana.

"Ya, saya memang berniat kesana, lalu apa masalahnya dengan bapak?" sudah cukup aku menahan amarahku. Kulihat matanya berkilat marah, tantangku menatap matanya.

Degdegdegdeg

"Cepat keluar dari sini sebelum saya habis kesabaran" katanya pada akhirnya, aku benapas lega walau tidak sepenuhnya, aku bergegas keluar ruangannya dan berjalan kearah lift, ingin aku pulang sekarang dan menenangkan diri. Perkerjaan? Tidak penting sekarang aku butuh napas untuk saat ini. Tanpa terasa bulir air dipipiku semakin merembes tak bisa dicegah.

Aku ingin pulang mama

Sesampai di loby beruntung keadaan sepi, tak seramai yang aku kira. Segera aku memesan taxi dari ponselku. Air mataku tak bisa dibendung selama aku menunggu taxi datang. Masa bodo dengan tatapan penasaran orang yang berada di lobby.

***

Minggu, ini baru namanya hidup dengan menikmati libur dihari minggu sungguh menyenangkan sekali menikmati weekend di atas kasur. Aku malas untuk bangkit saat ini, namun perutku sudah lapar. Kuambil ponsel di nakas untuk melihat jam.

Jam 10.04

Aku segera bangkit dari kasur lalu langsung berjalan menuju cermin.

"Kyaaa........" aku melihat penampakan mengerikan di cermin segera aku menjauh dari sana. Aku tersadar bahwa yang ada didalam cermin adalah pantulanku. Bodoh.

Aku segera mendekat kembali ,mata bengkak, rambut acak acakan, bedak luntur tak sempat dibersihkan, fix aku adalah kunti ditinggal nikah.

Aku teringat kejadian semalam ketika pak bos membentak bentakku. Orang lain akan mengira aku sedang putus cinta kalau melihatku.

Aku segera mandi sebelum sarapan, kulihat bahan masakan dan pralatan kamar mandi sudah menipis, aku akan belanja bulanan setelah ini.

***

Aku sudah berada disalah satu mall lumayan besar untuk ukuran sepertiku. Aku memasukan belanjaan yang perlu, mungkin orang benar bahwa keramaian dapat mengurangi stress. Setelah selesai aku mengantri untuk membayar belanjaan. Dibelakangku ikut mengantri seorang lelaki yang memakai masker.

Kurasakan leherku paling kiri di tiup pelan, aku memberi tatapan tajam pada si pelaku ia segera memaki maskernya. Sejenak tiupan itu terhenti namun segera berlanjut setelahnya. Kembali aku menatapnya tajam, namun tatapan tajamku terhenti saat aku menatapnya sesaat.

"Chandra?" kataku memastikan, ia tersenyum lebar dengan luka lebam di bagian wajah dan luka sobek dibibir. Aku termangu melihat wajahnya yang amburadul.












Rain And Ginephobia (end) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang