Move to the kost

1.4K 86 3
                                    

  

   Seminggu bekerja disini aku mulai dapat menyesuaikan diri, mbak Sandei meberitahuku hal hal tentang kantor, memperkenalkanku dengan kariawan kantor,yang perlu dijauhi, dan kepala keuangan yang baru. Ia mengatakan bahwa kepala keuangan kali ini sangat menyeramkan, salah titik saja akan dimakan hidup hidup kata mbak Sandei kepadaku, aku bertanya tanya apa memang petinggi dikantor ini tidak ada yang normal.

  Aku bertanya mengapa mbak Sandei bersikap baik padaku, ia mengatakan bahwa aku mengingatkanya dengan awal ia lari ke Jakarta, namun peruntunganku lebih baik. Aku melamun ditengah perkerjaan.

"Han, oi Han" aku menoleh keasal suara, ternyata mbak Ulva wanita beranak dua itu tengah memanggilku.

"Apa mbak?" aku mengalihkan pandangan kearahnya.

"Tolong kamu kasih dokumen ini ke pak Jimmi " katanya berbisik lalu memberi beberapa dokumen. Ia juga tetangga kubikelku.

"Loh kok mbak gak kasih langsung?" lah dia'kan bisa langsung kasih tanpa perantaraan.

"Kalo lihat muka dia perut aku sakit, bayi aku gak mau lihat muka dia" aku terperangah dengan penjelasan mbak Ulva, apa kata dia tadi?
Ya, aku tahu sih dia lagi hamil enam bulan, tapi alasanya gak logis. Untung aku sabar.

"Iya mbak, sekalian nanti aku kasih data anggaran bulan ini tapi tunggu selesai"

"Kamu memang terbaik Han"
Ia berlalu pergi duduk dikubikelnya. Aku mendesah, eit bukan mendesah nikmat, tapi mendesah lelah, belum aku kenalin kepala keuangan baru aku.

Nama: Jimmi bagaskara
Umur:30 tahun udah tua btw
Hobby:dengar dengar ngamuk sama kariawan,
Satasus:tidak diketahui.

Setelah data selesai aku beranjak dari tempat duduk menuju ruang kepala keuangan. Aku menghirup udara sebanyak mungkin.

"Permisi pak" aku mengetuk pintu.

Setelah mendengar balasan dari dalam aku bergegas masuk.

"Ini pak data bulanan ini sama sekalian data dari mbak Ulva" aku tegang, massa?

"Kenapa ia tidak berikan sendiri?" nada dingin terdengar dari bibir seksinya.

Glek

"Tadi mbaknya ada halangan pak" bohong sekali demi kebaikan.

"Baik kali ini saya terima, besok besok kamu tolak saja permintaanya dia punya kaki untuk berjalan kemari"

"Baik, pak" tak sabar rasanya aku kabur dari sini.

"Baik, kamu boleh keluar"
Aku bergegas keluar dengan cepat.

"Serem banget njir" kataku setelah menutup pintu, jujur Jimmi memang ganteng perawakanya tinggi mancung, tato huruf di lengan kanan membuatnya macho, tapi seram berbarengan.

  Jam istirahat telah tiba, aku bergegas menuju kubikelku, sekalian mengajak mbak Sandei dan mbak Ulva makan bareng, bukan kekantin kali ini tapi berkumpul di salah satu kubikel salah satu dari kami.

  Berkilah berhemat padahal sebenarnya uang tabunganku mulai menipis kalau mbak Sandei memang niat menabung, kalau mbak Ulva beda kasus lagi, ia mengatakan masakkan rumah lebih sehat dari pada masakan luar yang banyak mengandung micin, ia gak mau anaknya lahir sebagai generasi micin, lucu juga alasannya.

"Han ayo makan" ajak mereka di kubikel mbak Ulva.

"Ia mbak tunggu"
Tak lama aku bergabung bersama mereka. Biasanya kami akan tukar sayur atau lauk.

"Oh ya San, katanya boss besar besok survei?" tanya mbak Ulva disela makan, yah beginilah.

"Kata siapa mbak?" aku nyimak pembicaraan mereka.

Rain And Ginephobia (end) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang