28• WY

1.6K 164 38
                                    

Sudah pukul tujuh lewat lima belas menit, namun matahari tak menunjukkan sinarnya.

Salsha sudah rapi mengenakan seragam sekolahnya, ia berdiri didepan gorden kamarnya dan menatap langit itu. Sangat mendung, bahkan sesekali terdengar suara petir.

Salsha menyunggingkan senyum tipis, terus menatap langit yang semakin gelap dan pertanda hujan memang akan turun.

Satu bulir menetes.

Bukan dari langit, namun dari mata Salsha.

Mata yang dari semalam menangis tak hentinya, mata sembab dan merah. Sayu dengan pandangan nanar.

Salsha dengan cepat menghapusnya. Sekarang ia merasa kalah dengan langit. Ia menjatuhkan air matanya sebelum langit meneteskan airnya yang akan menjadi hujan.

Lima belas menit lagi bel masuk sekolah akan berbunyi. Entah mengapa saat pagi tadi Salsha benar-benar tak berniat untuk sekolah namun dirinya seakan dipaksa oleh tubuhnya yang bergerak mandi, berganti seragam dan membuatnya tersenyum pagi ini dengan diiringin tetesan air mata.

"Salsha, lo sekolah?" teriak seseorang dibalik pintu kamarnya, yang Salsha sudah tidak asing lagi dengan suaranya. Kakaknya---Nisa.

Salsha beralih mengambil tas dikasurnya, lalu membuka pintu, mencoba memberi senyum pada kakaknya itu kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Nisa yang memasang wajah sedih melihat adiknya.

Kejadian semalam membuat keluarga mereka beradu mulut.

Bukan karena Ari.

Tapi karena Salsha yang pulang terlalu malam dan melupakan perjanjian dengan bundanya.

Salsha tidak boleh pulang kemalaman.

Biya menambahkan, jangan pulang sebelum ayahnya. Namun nyatanya, Salsha pulang disaat ayahnya sudah pulang dari kerja terlebih dahulu.

Malam tadi semua menunggunya, bahkan saat Nisa datang kemarahan ayahnya semakin memuncak karena menurutnya anak pertamanya yang bernotabene sebagai kakak itu memberi contoh yang tidak baik dengan pulang larut malam.

Salsha menemui ayahnya sedang membaca koran disofa ruang tamu, kemudian mata itu meliriknya.

"Udah?" Salsha mengangguk ragu, pandangan ia arahkan kesembarang tempat asal tak menatap ayahnya. Ia takut.

Ayahnya meraih kunci mobil diatas meja lalu berdiri dan keluar terlebih dahulu.

Bundanya hanya berdiri disamping Salsha, sehabis dari dapur.

"Berangkat, bun," ucap Salsha menyalimi bundanya.

"Iya hati-hati," ucap bundanya lalu dari arah belakang Nisa juga datang dan langsung mencium punggung tangan sang bunda.

"Berangkat ya, bun."

"Iya," ucap bundanya tersenyum, Salsha sudah berlalu keluar.

Biya libur sekolah hari ini, Nisa dihukum dan tidak diperbolehkan membawa mobil sendiri. Salsha pun akan diantar jemput oleh ayahnya langsung.

***

"Bilang ke gue, Sal, lo kenapa?"

Salsha menggeleng sambil tersenyum, tidak mungkin rasanya memberitahu Steffi tentang kejadian semalam, terlebih risiko terbesar adalah Steffi akan membenci Ari. Salsha sangat tidak ingin itu terjadi, ia tahu rasanya menjadi Ari, ia membayangkan bagaiman rasanya kelak jika ia dibenci Iqbaal.

"Nggak papa, Steff."

"Terus kenapa lo nangis? Ada hubungannya sama Ari?" Salsha menggeleng cepat.

Waiting You •IQSHA•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang