Salsha berada di kursi rodanya, memandang dengan pandangan kosong sekeliling. Padahal semua orang ramai berjalan di depannya, hanya saja orang-orang itu tak ia kenal.
Rambut panjangnya yang kian hari kian menipis, bibir pink yang semakin pucat dan darah yang kadang mengalir dari hidungnya.
Keadaan Salsha sedikit buruk, bahkan Salsha ingin mengatakan ini adalah sangat buruk. Sangat buruk sepanjang hidupnya, bahkan ia lupa jika dulu hal yang sama pernah terjadi.
"Salshaaa." Salsha melirik Cassie dari kejauhan berlari menyebut namanya.
Salsha tersenyum tipis, Cassie memeluknya sangat erat.
"Gue nggak mau lo pergi." Cassie menangis dipelukan Salsha.
Salsha membalas pelukannya. "Doain aja ya, gue juga maunya cepat disana."
"Lo janji ya, cepat."
Salsha mengangguk, walau nyatanya ia tak menjamin janjinya itu akan ia tepati.
Tak lama, semua berdatangan. Ada Kiki, Aldi, Bastian, dan juga Bella.
Sekarang semua sudah tahu penyakit Salsha, bundanya yang memberitahu. Sebenarnya Salsha malu, tapi jika tidak diberitahu maka kepergiannya akan menjadi tanda tanya besar.
Dan tentunya Salsha tak ingin meninggalkan semua orang dengan pikiran dikepala tentang dirinya.
"Sal, baik-baik ya disana. Kalo lo yang lama disana, gue bakal nyusul," ucap Bella.
Salsha terkekeh, "Iya, nggak akan selama makannya bang Kiki kok."
"Idih, kan sekarang masih aja sempat bawa-bawa gue. Awas ya kalo lagi japri ngomongin gue kalian!"
"Hahaha becanda, bang." Salsha terkekeh.
"Nih, gue ingat banget lo mau ini gue kan?" Bastian melepas kupluk yang ia gunakan dan memasangkannya dikepala Salsha.
Bastian tahu, kepala Salsha butuh pelindung. Rambut yang menipis itu perlu untuk ditutupi, Bastian tahu rasa percaya diri Salsha berubah. Bastian tahu semuanya, bahkan perasaan perempuan itu pun ia tahu. Hanya Iqbaal yang ada dihatinya. Tanpa seorang pun bisa menggantikannya, sekuat apapun ia berjuang tetap saja ia kalah pada Iqbaal yang tidak sekalipun menganggap Salsha lebih dari seorang sahabat.
"Makasih, Bas." Salsha tersenyum begitu tulus, menyadari benda yang dari dulu ia inginkan dari Bastian kini menjadi miliknya.
Salsha tidak akan menyangka, jika saja ia kembali mendapat sesuatu yang dari dulu ia inginkan. Andai Salsha menginginkan Bastian, pasti Bastian akan beruntung dan jauh lebih bahagia.
Andai juga Iqbaal menjadi miliknya, setulus apa kiranya senyum itu terukir.Penerbangan menuju singapura kira-kira 30 menit lagi, Salsha dan kedua orang tuanya sengaja datang satu jam lebih awal agar bisa menunggu sahabat-sahabatnya disini.
Sekarang, seseorang yang sebenarnya tak begitu Salsha harapakan tapi akan datang untuknya. Iqbaal dan Steffi.
Salsha mendapat kabar dari Cassie jika keduanya akan datang.
Bukannya Iqbaal dan Steffi, justru Ari datang dan tersenyum manis ke arahnya.
Salsha memasang wajah heran dan bertanya-tanya, mengapa tiba-tiba sosok itu hadir dan masih berani menampakkan wajahnya dihadapan Salsha.
"Om tante, ijin ngobrol bentar sama Salsha boleh?"
Tanpa Salsha duga, kedua orang tuanya kompak mengangguk.
Salsha tak menolak ketika Ari mendorong kursi rodanya sedikit menjauh dari semua orang.
Sekarang, tidak begitu jauh dari tempat awalnya tadi, namun cukup sulit untuk bisa mendengar percakapan disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting You •IQSHA•
Fiksi Penggemar[S E L E S A I] ✔ Sebuah pertemanan yang singkat itu mengantarkannya pada rasa cinta dan membuat ia benar-benar mencintai sosok Iqbaal. Salsha tahu, berada diposisinya sekarang memang tidak mudah. Terlebih harus mencintai kekasih sahabatnya sendiri...