Setelah sadar dari pingsannya, Salsha tak sama sekali mengeluarkan satu kata pun. Ia tetap berbaring diranjang rumah sakit dengan pandangan mengarah pada tangannya yang di infus.
"Aku udah bilang kan, jangan bolehkan Salsha keluar."
Walaupun nada bicaranya pelan, namun Salsha bisa mendengar sedari tadi kedua orang tuanya yang berdebat.
"Yah, bunda nggak tau. Salsha keluar nggak bilang, kalo bilang juga bunda bakal larang dia."
Salsha memalingkan wajahnya dari arah keduanya yang kini membelakanginya, dan sekarang memilih memejamkan matanya.
Satu tetes mengalir membasahi pipinya. Bahkan sekarang, Salsha tak tahu apa alasan dirinya bisa berada di ranjang rumah sakit ini dan harus menginap sampai hari yang belum ditentukan.
"Yaudah, aku mau urus administrasi dulu." suara pintu kamar terbuka dan Salsha yakini ayahnya sudah berlalu pergi.
Salsha menangis sekarang, tangis yang ia tahan dihadapan ayahnya hanya agar ayahnya tak khawatir. Tangis yang ia jaga hanya untuk menjaga bundanya dari kemarahan sang ayah dan tangis yang ia tahan untuk menghentikan perdebatan itu.
"Salsha." bundanya menghampirinya.
Tubuh Salsha bergetar, matanya terpejam namun ia menangis dengan sedikit suara isakan tangis yang lagi-lagi masih ia coba tahan.
"Sal, nggak papa." bundanya mencoba menenangkan.
"Salsha nggak mau disini, bun. Salsha nggak mau pake infus. Salsha mau pulang." Salsha kini membuka matanya menatap sang bunda yang matanya pun berkaca-kaca.
"Iya kita pulang, tapi nggak sekarang."
"Bunda.. Salsha nggak suka tempat ini."
"Iya, semua orang juga nggak akan suka ada disini, Sal. Bunda juga nggak suka, tapi mau gimana lagi?"
Salsha menggeleng, tempat ini benar-benar tempat yang ia benci. Seharusnya ia tidak pingsan tadi sehingga Iqbaal tidak akan membawanya ke sini.
Suara pintu terbuka, dengan cepat Salsha menghapus air matanya dan menatap sembarang tempat, membuang wajah dari arah pintu agar seseorang yang sedang berada disana tak akan melihatnya menangis.
Bundanya pun mencoba tersenyum, juga ikut menghapus air matanya yang sudah berhasil keluar tadi.
"Salsha."
Salsha hanya diam.
"Sal."
Salsha tetap diam, tak berniat menatap ayahnya.
"Iqbaal itu siapa?"
Salsha kaget, mengapa ayahnya tiba-tiba bertanya mengenai Iqbaal?
"Iqbaal siapa?" tanya ayahnya lagi, kali ini pada bundanya.
"Temen sekolah. Pacarnya Steffi."
Deg.
Salsha kaget mendengarnya, ia hanya ingin mendengar penuturan pertama dari bundanya, bukan malah memperjelas kenyataan jika Iqbaal adalah pacar Steffi.
"Ohh.." ayahnya mengangguk-ngangguk, "Oh iya, Ari mau jenguk nanti."
Salsha langsung menatap ayahnya.
"Ayah mau keluar bentar, mau jemput uni sama Biya."
"Ari mau ke sini?" tanya bundanya, ayahnya mengangguk.
Salsha diam. Ia pasrah harus mengikuti apa yang akan terjadi mendatang. Jika Ari datang dan membunuhnya pun ia siap. Walau pada nyatanya mati ditangan Ari adalah sesuatu yang Salsha tak sudi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting You •IQSHA•
Fiksi Penggemar[S E L E S A I] ✔ Sebuah pertemanan yang singkat itu mengantarkannya pada rasa cinta dan membuat ia benar-benar mencintai sosok Iqbaal. Salsha tahu, berada diposisinya sekarang memang tidak mudah. Terlebih harus mencintai kekasih sahabatnya sendiri...