"Jangan terlalu panjat sosial, kepengin banget dianggap spesial?"
****
Clarissa, Maura, Salsa, dan Ririn sedang duduk di pinggir lapangan. Mereka sudah move on dari pertandingan kemarin. Pergelangan kaki Clarissa juga mulai membaik, mungkin hanya pincang sedikit. Hari ini kelas mereka ada pelajaran praktek olahraga.
Clarissa beranjak dari duduknya. "Gue ke koperasi dulu, beli minum. Ada yang mau ikut?"
"Nitip!" teriak ketiganya bersamaan.
Clarissa memutar kedua bola matanya malas, kebiasaan.
Keadaan koperasi sangat ramai hari ini. Ia langsung menuju kulkas mengambil 4 botol air mineral dingin.
"Berapa, Bu?" tanyanya pada penjaga koperasi.
"14 ribu, Neng."
Clarissa mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu. Setelah mengambil kembaliannya ia bergegas menuju lapangan lagi.
"CLARISSA!"
Merasa namanya dipanggil, Clarissa menoleh. Ervan, Ketua OSIS sekolahnya.
Ervan menghampiri Clarissa. Posisi mereka saat ini berada di tengah lapangan.
"Gara-gara lo sama tim lo kalah, gue jadi bulan-bulanan ketosnya SMA Arjuna." Ervan menunjuk-nunjuk wajah Clarissa, sangat tidak sopan.
Clarissa tersenyum simpul, ia merasa bersalah tak bisa membawa kemenangan untuk sekolahnya. Tapi bukan berarti tindakan Ervan bisa dibenarkan seperti ini, menyalahkan dirinya seenaknya.
"Oh, ya? Sorry deh kalau gitu. Tapi setidaknya gue udah berjuang mati-matian," sarkasnya pada Ervan.
"Alah! Gak bisa main bola kok dipilih, jadi kapten pula." Ervan terus saja mencibir.
Ervan merupakan Ketua OSIS yang menjunjung tinggi 'ketenaran'. Tapi tak punya bakat apapun.
Clarissa berusaha tenang, padahal hatinya meledak-ledak.
"Van, lo gak bisa ngukur kemampuan orang lain lewat kemampuan lo sendiri. Setiap orang itu punya skill yang beda-beda."
"Untung lo ngomong gininya ke gue, gak bakalan tuh gue ambil pusing. Coba lo ngomongnya ke orang lain, mereka pasti bakalan down banget."
"Mereka pasti mikir, kalau kemampuan mereka tuh gak ada apa-apanya. Bahkan, bisa aja mereka berhenti di tengah jalan. Ninggalin semua mimpi dan cita-cita yang udah mereka susun."
Clarissa berhenti bicara sejenak. "Lain kali, kalau mau menyuarakan sesuatu demi 'ketenaran' busuk lo itu, dipikir dulu, Ketua OSIS!" ucap Clarissa dengan penuh penekanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
WAVER [Completed]
Teen FictionKetika cinta dibiarkan terbagi, di saat itulah hati diharuskan memilih. Jika mereka bagaikan hujan dan matahari, aku selalu butuh keduanya untuk dapat melihat pelangi. Hujan selalu meneduhkanku, membiarkan semua masalahku ikut terhanyut oleh rintik...