Happy reading <3
¸¸♫·¯·♪¸¸♩·¯·♬¸¸
Sudah sebulan dirinya dirawat di sini, di tempat yang membosankan. Tanpa keceriaan, tanpa penglihatan. Dunianya sangat suram.
Tak ada yang dapat ia lakukan sama sekali, hanya terbaring lemah. Salahnya tak hati-hati waktu itu. Tapi tetap harus bersyukur, setidaknya ia tidak ikut terbakar bersama mobilnya. Meskipun harus mengorbankan kedua matanya.Harusnya, ia sudah memberikan cincin itu pada Clarissa. Tapi bukan takdir namanya kalau tak memberi kejutan. Mungkin sekarang belum waktunya.
Abi merasakan ada seseorang yang duduk di dekat ranjangnya.
"Mama?" panggilnya.
Lagi, ia merasakan tangannya digenggam halus.
"Ini gue."
Deg.
Suara itu. Tubuh Abi menjadi kaku, ia terlalu malu untuk bertemu siapapun saat ini.
"Pergi, Ris. Gue nggak mau terlihat lemah di depan lo."
Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutnya. Pasti Clarissa sakit hati ketika mendengarnya. Percayalah, ia hanya butuh waktu sendiri. Entah sampai kapan.
"Gue mau temanin lo, Bi. Apa salah?"
Abi terpaku mendengarnya, tak tahu ingin menjawab apa. Yang pasti ia tak ingin diusik oleh siapapun.
"Abi?"
Abi sedikit terlonjak, lamunannya buyar.
"Apa, Ma?"
"Clarissa datang lagi, apa sudah boleh masuk?" Diana bertanya dengan hati-hati. Pasalnya, sudah sebulan ini anaknya menghindar dari siapapun. Bahkan dari Clarissa yang notabenenya adalah gadis yang anaknya sukai.
Abi menggeleng. "Suruh dia pulang aja, Ma. Jangan ke sini lagi, buang-buang waktu."
Diana menghela napas. "Kasihan dia, kenapa kamu bersikap kayak gini?"
"Aku nggak mau dia berkorban demi cowok cacat kayak aku, Ma!" gertak Abi.
"Kamu nggak cacat, Abi! Mama yang akan jamin itu." Diana menahan isak tangisnya.
"Jangan nangis, Ma. Jangan membuat aku semakin merasa nggak berdaya."
Diana terisak pelan, mengelus rambut anaknya. "Ya udah kalau kamu memang belum mau bertemu, Mama sampaikan." Diana keluar dari ruangan untuk menemui Clarissa.
KAMU SEDANG MEMBACA
WAVER [Completed]
Teen FictionKetika cinta dibiarkan terbagi, di saat itulah hati diharuskan memilih. Jika mereka bagaikan hujan dan matahari, aku selalu butuh keduanya untuk dapat melihat pelangi. Hujan selalu meneduhkanku, membiarkan semua masalahku ikut terhanyut oleh rintik...