"Mengalah bukan berarti kalah, itu salah satu proses pendewasaan diri."
****
"Mereka berdua udah akur, Ris?" bisik Maura pada Clarissa. Berhubung Pak Ujang sedang menulis materi di papan, jadi Maura memanfaatkan kesempatan ini untuk mengobrol.
Hari ini Abi dan Aldi duduk sebangku lagi setelah pertengkaran kemarin. Clarissa melirik ke arah meja mereka berdua, lalu tersenyum. "Syukur deh kalau gitu."
"Emangnya mereka berdua lo apain?" tanya Maura.
Clarissa berpikir sebentar. "Gak diapa-apain."
"Kok bisa akur sih?"
"Mungkin aja mereka udah baikan sendiri."
"Bagi resepnya dong, Ris, biar direbutin dua cowok ganteng juga," mohon Maura.
"Gue gak pakai cara apa-apa."
"Ih? Bohong! Pelit banget sama teman sendiri." Maura mengerucutkan bibirnya.
Dari belakang, ada yang menepuk bahu Maura. "Ish! Apaan sih? Colak-colek!"
"Apa, Ris, resepnya?"
Clarissa menunjuk-nunjuk arah belakang Maura. "Itu di belakang lo!" bisik Clarissa.
"Apa? Lo gak usah ngalihin pembicaraan deh! Buruan jawab!"
Untuk kedua kalinya, bahu Maura ditepuk.
"Woy! Bisa diam gak sih? Ini Clarissanya belum jawab! Nanti ajalah, genit banget colak-colek segala," omel Maura.
Clarissa menepuk dahinya. Jadi teman gak peka banget!
"JAWAB, DODOL!"
"Astaga, itu belakang lo, Ris!" bisik Clarissa gemas.
"Apa sih? Ada setan? Setan apa? Setan mana yang betah di kelas ini?" tantang Maura.
"Saya setannya."
Deg!
Baru saja Clarissa ingin mencakar wajah Maura, Pak Ujang sudah mengeluarkan ultimatumnya.
Sontak, Maura menoleh ke belakang.
Jeng! Jeng! Jeng!
KAMU SEDANG MEMBACA
WAVER [Completed]
Ficção AdolescenteKetika cinta dibiarkan terbagi, di saat itulah hati diharuskan memilih. Jika mereka bagaikan hujan dan matahari, aku selalu butuh keduanya untuk dapat melihat pelangi. Hujan selalu meneduhkanku, membiarkan semua masalahku ikut terhanyut oleh rintik...