Happy reading <3
¸¸♫·¯·♪¸¸♩·¯·♬¸¸
Arfin dan Diana duduk di sebuah ruang tunggu. Mulut mereka tak hentinya mengucap doa.
Hari ini adalah hari di mana Abi akan menjalankan operasinya. Operasi sudah berlangsung selama dua jam, namun belum ada tanda-tanda pintu ruang operasi akan terbuka.
"Mudahkan, ya Allah." Diana menengadahkan kedua telapak tangannya. Arfin juga melakukan hal yang sama.
"Kira-kira siapa yang sudah mendonorkan kedua matanya untuk Abi?" tanya Arfin.
"Iya, dia tak meminta balasan apa pun." Diana menambahkan.
"Kalau aku tahu siapa pendonornya, aku akan menjamin dan membiayai seluruh keperluan hidupnya." Arfin bernazar.
Cklek!
Pintu ruang operasi terbuka, bersamaan dengan keluarnya seorang dokter berbaju hijau.
Ia adalah teman dokter Handi yang menetap di Singapura, tapi tetap berkewarganegaraan Indonesia.
Arfin dan Diana menghampiri dokter itu. "Bagaimana, Dok?" tanya Arifin.
"Operasinya lancar, dipastikan Abi akan dapat melihat lagi."
Ucapan dari dokter tersebut membuat Arifin dan Diana sangat bahagia. Beribu ucapan syukur mereka curahkan.
"Tapi sebelum perban mata itu dibuka, Abi meminta sesuatu," ucap dokter itu.
"Apa, Dok?" tanya Diana.
"Abi meminta agar seorang gadis bernama Clarissa hadir di dekatnya. Tepat di depannya, saat perban itu terbuka."
Arfin dan Diana mengangguk antusias, merasa tak keberatan dengan permintaan anaknya.
"Akan saya turuti kemauannya, Dok!"
"Abi akan dipindahkan ke ruang perawatan, kalian bisa menemaninya di sana."
"Terima kasih banyak, Dok," ucap Arfin tulus.
"Sama-sama, saya permisi dulu." Dokter itu melangkah pergi.
Arifin memeluk istrinya, begitu juga dengan Diana, membalas pelukan suaminya.
"Aku mau kabarin Clarissa, kalau bisa aku yang akan jemput dia dan Fania," ucap Diana disela pelukannya.
"Pasti, ayo kita temui Abi dulu." Arfin merangkul istrinya menuju ruang perawatan tempat Abi dirawat.
¸¸♫·¯·♪¸¸♩·¯·♬¸¸
"Udah ada kabar, Ma?" tanya Abi.
"Belum, tersambung tapi nggak diangkat." Diana masih terus mencoba untuk menghubungi Fania, bundanya Clarissa. Ini sudah panggilan yang ke lima belas. Nomornya aktif, tapi tak kunjung diangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
WAVER [Completed]
Teen FictionKetika cinta dibiarkan terbagi, di saat itulah hati diharuskan memilih. Jika mereka bagaikan hujan dan matahari, aku selalu butuh keduanya untuk dapat melihat pelangi. Hujan selalu meneduhkanku, membiarkan semua masalahku ikut terhanyut oleh rintik...