Ketika cinta dibiarkan terbagi, di saat itulah hati diharuskan memilih.
Jika mereka bagaikan hujan dan matahari, aku selalu butuh keduanya untuk dapat melihat pelangi.
Hujan selalu meneduhkanku, membiarkan semua masalahku
ikut terhanyut oleh rintik...
"Heh! Yang temanin lo kemarin siapa, hah? Gak ada makasih-makasihnya banget jadi cewek!" omel Fadlan.
"Dih? Ya udah! Karena gue lagi malas debat, makasih ya, Fadlan!" ketus Maura.
Fadlan melengos.
"Oh iya, nih, maaf ya kawan-kawan! Vilanya untuk saat ini belum bisa kita pakai. Soalnya, kliennya Daddy butuh banget vila itu buat salah satu program TV-nya," jelas Fadlan.
"Oh gitu? Ya udah, Fad, gak apa-apa. Kalau udah free kabarin aja ya?" ucap Abi.
"Oke, nanti gue minta kabar selanjutnya dari Daddy."
"Lho? Daddy gue kan calon Daddy lo juga, Ra! By the way, Mama dan Papa lo juga udah setuju kok! Kita nikah muda aja gimana?" Fadlan tersenyum menggoda Maura.
Tak dipungkiri, ia cukup baper dengan hubungannya dan Maura saat ini. Bagaimana tidak? Kemana-mana selalu berdua. Layaknya sepasang kekasih, meski lebih banyak adu mulutnya, sih.
Dan bahkan, mereka berdua sudah saling kenal keluarga masing-masing. Ditambah lagi, papanya Fadlan dan papanya Maura adalah rekan bisnis.
Fadlan mulai menyukai Maura, saat Maura baru saja putus dari pacarnya. Maura menangis dalam pelukan Fadlan berjam-jam.
Perempuan, padahal dia yang memutuskan hubungan. Tapi dia juga yang nangis histeris.
Kalau kata kids jaman now, Suka heran aku tuh.
"Big no! Bisa-bisa gue yang jadi kepala keluarganya!" desis Maura.
"Eh! Eh! Sebentar, deh! Telinga lo ada fitur kelilipannya, Ra?"
Mereka berenam saling melirik setelah mendengar pertanyaan Ririn.